Surabaya, Pijaronline.net – Bantaran Kali Surabaya rupanya menjadi tempat yang favorit untuk membuang limbah. Temuan itu didapatkan dari hasil penelusuran yang dilakukan tim patroli air selama kurun Januari hingga November 2019.
“Kalau pelanggaran memang cenderung menurun. Ketaatan mereka terhadap lingkungan mulai baik. Dua tahun ini tidak ada yang dilakukan pidana. Kalau ada hanya sangsi administrasi,” kata Kepala Seksi Penanganan Pengaduan dan Penaatan Hukum Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur, Ainul Huri.
Dari 40 industri yang ada di sepanjang Kali Surabaya, memang tidak semua dilakukan uji oleh DLH Jawa Timur. Namun dari 17 industri, lanjut Ainul Huri, hasil ujinya melebihi baku mutu.
Ainul menjelaskan, pihaknya akan membawa kasus pencemaran lingkungan, khususnya di sungai ke ranah hukum. Hal ini dilakukan jika industri tersebut tidak mengindahkan teguran maupun imbauan yang dilayangkan pihak dinas.
Dijelaskan Ainul, 17 industri itu bermacam-masam jenisnya. Mulai industri kertas, tekstil, makanan dan minuman, serta obat-obatan. Lokasinya yang berada di sepanjang Kali Surabaya yang panjangnya 41 kilometer mulai Mojokerto hingga ke Kota Surabaya.
Pencemaran sungai seperti ini, kata Ainul, memang harus diatasi. Pasalnya, dampaknya akan dirasakan masyarakat luas. Memang tidak secara langsung, tapi dalam waktu tertentu akan merusak kualitas air dan merusak biota dan ekosistem yang ada di dalam sungai.
“Air di Kali Surabaya ini airnya diambil oleh PDAM Surabaya, Mojokerto, Gresik dan Sidoarjo. Kalau tercemar, orang-orang akan menjadi korbannya. Karenanya kalau industri tidak menghiraukan imbauan dan binaan kita, maka harus bertindak tegas. Kita laporkan ke Polda Jawa Timur,” tandasnya, Kamis (20/12).
Sementara, Direktur Konsorsium Lingkungan Hidup, Imam Rochani menyebut masih adanya perusahaan yang membuang limbah di Kali Surabaya merupakan hal serius. Terlebih dalam aturan yang dikenakan tentang lingkungan hidup, sanksi untuk industri yang mencemari lingkungan, terutama sungai, jauh lebih longgar.
“UU 32 tahun 2009 itu tidak segalak UU 23 Tahun 1997. UU 32 itu lebih pada pembinaan. Jadi ada peringatan pertama, kedua dan tindakan hukum,” ungkapnya.
Jadi, lanjutnya, beda waktu yang ada membuat perusahaan bisa melakukan perbaikan. “Kalau dulu operasi tangkap tangan (OTT), kita bisa memidanakan beberapa industri. Termasuk milik Pemkot Surabaya,” terang Imam.(dan)