Bencana Hidrometeorologi Jadi Bahasan Rakor Forkopimda Se-Jatim

420
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ketika meninjau lokasi banjir di Madiun, beberapa waktu lalu. (Foto: Istimewa)

Surabaya, Pijaronline.net – Jawa Timur harus bersiap menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi. Provinsi ini terancam 12 jenis potensi bencana. Baik geologi, hidrometeorologi, bencana alam, dan bencana non-alam. Bencana hidrometeorologi yang paling dominan.

Ke-12 potensi bencana itu banjir, banjir bandang, gelombang ekstrem dan abrasi, gempa bumi, kegagalan teknologi, kekeringan, wabah penyakit, erupsi gunung, cuaca ekstrem, tanah longsor, tsunami, serta kebakaran hutan dan lahan.

Masalah bencana hidrometeorologi ini dibahas dalam rapat koordinasi (Rakor) di Gedung Negara Grahadi, Senin (23/12) sore. Dalam acara ini menghadirkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) provinsi maupun Forkopimda 38 kabupaten-.kota se-Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa membuka acara tersebut.

Data Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) BPBD Provinsi Jawa Timur menunjukkan, terjadi 437 kejadian bencana kategori tinggi dan sedang hingga Desember ini.

Dari total bencana yang terjadi, angin kencang mendominasi sebanyak 36 persen, banjir 25 persen, angin puting beliung 8 persen, tanah longsor 7,5 persen. Kemudian, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), gempa bumi, dan sejumlah bencana lainnya sebesar 23,5 persen.

Lokus kejadian bencana di atas tersebar di 38 kabupaten-kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Bencana itu mengakibatkan 15 jiwa melayang, 62 orang luka-luka, 2.234 jiwa mengungsi, dan 4.523 rumah rusak.

“Di masa mendatang tantangan penanganan bencana semakin berat. Dari tahun ke tahun kualitas dan intensitas bencana semakin meningkat dan semakin beragam,” ujar Khofifah.

Melalui rapat koordinasi itu, Khofifah minta semua pihak yang tergabung dalam Forkopimda mengumpulkan informasi terkait bencana, menganalisis, dan menindaklanjuti dengan pengurangan risiko.

Menurutnya, upaya penanganan yang dilakukan oleh berbagai pihak ini harus dimulai saat prabencana. “Bencana ini adalah urusan bersama, mencegahnya juga harus bersama-sama,” imbuhnya.

Rakor ini merupakan tindak lanjut dari berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang ditindaklanjuti Perda Jawa Timur No. 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana.

Khofifah menegaskan, dengan aturan itu, penanganan bencana yang sebelumnya berorientasi pada pola reaktif atau proaktif, sekarang lebih pada pola penanganan preventif berbasis pengurangan risiko bencana (PRB).(dan)