SAYA Jawa tulen. Istri keturunan Tionghoa. Nama Tionghoanya Wong Yen Lin. Nama Indonesia, Luluk Hindayati. Ketika kami pacaran kali pertama, masih ada perasaan yang membedakan. Dia pacarku Cina/ Tionghoa. Aku Jawa.
Bila kami jalan berdua, terkadang ada satu atau dua orang memperhatikan. Pacaran campuran Jawa Tionghoa. Kami black and white. Saya hitam dan istri putih.
Kami berpacaran sekitar empat tahun. Saat itu, saya belum berani menikah cepat karena masih kuliah. Selesai kuliah, dapat kerja yang layak baru kami menikah. Itu rencanaku dulu.
Bagaimana istri? Istriku wanita biasa saja. Sejak lulus SMA, dia sudah bekerja kantoran di perusahaan krupuk udang ternama di Sidoarjo. Dia karyawati senior.
Saya bertemu istri ketika saya bekerja sebagai marketing di kantor yang sama. Saya ada pesanan produk perusahaan, istri yang membuatkan invoice-nya.
Saya satu kantor dengan istri karena kebetulan. Saya sebelumnya bekerja di perusahaan cabang di Waru. Mulai bekerja kelas rendahan sampai staff.
Pada 1993 ketika di kantor lama, saya terpilih sebagai wakil pemuda Jatim untuk ikut Australia Indonesia Youth Exchange Program 1993-1994.
Saya harus cuti panjang sekitar 6 bulan dari kantor untuk ikut program tersebut. Saya di Australia selama 3 bulan dan 3 bulan sisanya di Medan.
Selesai program, Alhamdulilah, saya masih diterima bekerja di perusahaan lama. Terus terang, saya bekerja untuk membiayai kuliah saya di Fakultas Sastra Inggris di Universitas Dr. Soetomo.
Manajer akhirnya memutasi saya ke kantor baru di Jenggolo sebagai merchandiser. Di kantor baru ini, saya bertemu istri. Kami pun berpacaran.
Selama berpacaran, kami saling pengertian meski saat itu kami beda agama.
Setelah lulus kuliah, saya diterima bekerja sebagai wartawan Jawa Pos pada 1997.Tahun itu bukan tahun baik. Pada era 1997-1998 krisis moneter.
Meski demikian, kami menikah setelah istri menyatakan diri masuk Islam.
Pada 1999, anak pertama kami lahir, lelaki, Valiant Alfarizi. Pada 2005, anak kedua kami lahir, Sylvia Salsabilah.
Blended Chinese and Indonesian. Kedua anak kami kini sudah besar. Yang pertama, Valiant sudah masuk semester 6, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Jember.
Kami sudah 21 tahun menikah. Saya merasa istri sebagai orang Jawa. Malah, lebih dari itu. Dia sangat mudah bergaul dengan orang lain yang tidak dikenal sebelumnya.
Dia senang bergaul. Berkelakar. Terkadang teman wanitanya tidak menyangka, bahwa istri keturunan Tionghoa. Karena pada umumnya orang keturunan Tionghoa terlalu jaim walau tidak semuanya seperti itu.
“Sampeyan kayaknya orang Cina (Anda seperti orang Cina), ” ujar temannya.
Istri tertawa saja. “Ya saya memang keturunan Tionghoa. Dan, suami Jawa, ” ujarnya. Dan, kejadian ini kerap terjadi. Seharusnya orang orang keturunan membaur tanpa batas seperti istri.
Jelang imlek, istri dengan saya seperti biasa belanja untuk keperluan imlek mamanya. Kami belanja yosua, duit kertas cina, dan buah buahan untuk keperluan sembahyang imlek mertua.
Semua barang belanjaan imlek itu ditaruh di rumah mamanya.
Jumat (24/1), sekitar pukul 13.00, sembahyang imlek dimulai oleh mertua atau mama istri. Kami hanya hadir untuk menghormati.
Kami berdoa sesuai Islam, agar tahun baru imlek tahun 2020 selalu diberi kesehatan, keberkahan dan kesuksesan untuk keluarga kami dan untuk semuanya. Perbedaan yang selaras adalah keindahan. Gong Xi Fa Cai. (ruf)