Mengenal “Habibie”Hortikultura, Greg Hambali
ENTAH mengapa saya memiliki hobi koleksi bunga. Tapi bukan bunga sembarangan. Hanya empat jenis bunga yang saya suka. Anthurium, adenium, sanseveira, dan terakhir aglaonema. Sudah itu saja.
Hobi saya itu dimulai ketika trend bunga anturium, adinium, dan sanseviera meledak pada 2007-2008. Saat itu, khusus anturium harganya menggila bisa mencapai Rp 50 – 145 juta per pot.
Seorang teman asal Tanggulangin, mantan pedagang anturium bercerita. Dia dulu pernah membeli bunga anturium seharga Rp 45 juta, dijual kembali dan laku Rp 145 juta. Gila bukan. “Tapi uangnya tidak nyantol sama sekali,” ujarnya.
Ketika musim bunga itu mereda, saya sempat dimutasi perusahaan lama saya ke Jember. Di kota tembakau itu tak jauh dari kos, ada pedagang bunga yang jual anturium murah. Per pot Rp 15.000. Saya membelinya empat pot dan pulang ke Sidoarjo.
Kini tiga anthurium saya sudah besar, dan satunya mati. Tiga anturium itu tingginya rata-rata 40 cm. Karakternya sebagai bunga mahal dulu memang masih kelihatan. Berdaun besar, tebal dan raksasa. Pantas dulu mahal. Untuk menghibur diri di atas potnya saya tempeli tulisan, “Bunga Ini Dulu Pernah Mahal!”
Saat ini, saya menggilai bunga aglaonema. Masih mending, hanya tergila-gila bunga..asli bunga. Pokoknya tidak bunga desa, bisa-bisa dilabrak istri.
Di rumah, ada koleksi lima pot aglaonema. Dua pot Big roy rumpun tiga dan dua, dan dua pot Snow White dan satu antaranya rumpun satu. Dan, satu Donna Carmen. Rumpun artinya beranak.
Big roy single tidak rumpun pasaran Rp 30-70 ribu. Snow white Rp 50-100 ribu. Donna Carmen, Rp 15-30 ribu. Ada pedagang Donna Carmen rumpun empat harganya Rp 250 ribu. Cari saja di pasar buka di bawah jembatan layang Jenggolo, Sidoarjo. Meski kelas Big roy, satu pot harganya Rp 60-75 ribu saat ini.
Aglaonema atau Sri Rezeki (Chinese Evergreen) dari suku talas-talasan atau aracease. Genus aglaonema memiliki sekitar 30 spesies. Habitat aslinya di bawah hutan hujan tropis (Tropical Rain Forest). Tumbuh baik dengan intensitas sinar matahari rendah dan kelembaban tinggi. Akar serabut dan tidak berkaum.
Sejak 1985, muncul aglaonema hibrida semakin tahun semakin banyak. Kini totalnya sekitar 50 jenis lebih beredar di Indonesia, termasuk import dan lokal. Strata harga terendah aglaonema hibrida adalah Donna Carmen, kelas di atas Lisptick, Butterfly, dan Heng-Heng.
Ya…Donna Carmen, aglaonema harganya paling murah. Tahukah Anda, Donna Carmen pada 1985 pernah mahal. Bisa jadi per potnya Rp 10 juta dan kini anjlok Rp 15 ribu per batang.
Donna Carmen adalah aglaonema hibrida domestik yang dirilis pada 1985. Aglaonema hibrida ini persilangan dari Aglaonema Rotundum xA Communtatum Tricolor. Hasilnya, precursor (anakan belum sempurna) disilangkan lagi dengan A Brevispathum. Hasilnya, warna dasar kuning atau hijau. Nama Donna Carmen diambil dari nama seorang pemilik warung di perbatasan Brazil-Bolivia. Keramahan Donna Carmen sangat mengesankan penyilangnya, Gregor Garnadi Hambali–yang akrab dipanggil Greg Hambali.
Sebelum Donna Carmen muncul, pada 1980, sudah muncul aglaonema hibrida dominasi hijau hasil persilangan seperti ciput, sanola, aloet, dan golden fantasi, serta dari Thailand Sitipom.
Dan, yang menarik, saya baru tahu karena new bie di tanaman hias, ternyata Greg Hambali, 73 tahun adalah Bapak atau Maestro Aglaonema Indoesia. Dia Habibie-nya tanaman hortikultura khususnya tanaman hias Indonesia. Lebih khusus lagi aglaonema hibrida lokal Indonesia. Hasil karyanya 10.000 jenis persilangan tanaman hortikultura, termasuk aglaonema..
2020, LAUCHING GOLDEN HOPE 240 POT, RAUP 2,4 M
Donna Carmen adalah satu karya persilangan Greg. Kini bunga itu sangat murah. Tapi sekali Greg meluncurkan karya baru, maka harganya selangit.
Pada 12-13 September 2020, Greg meluncurkan Aglaonema terbaru, Golden Hope di rumahnya, Perumahan Baranangsiang Indah, Kota Bogor.
Karena masa pandemi, undangan lauching bunga Aglaonema hibrida jenis terbaru bersifat terbatas. Hari pertama yang diundang 12 orang saja. Begitu juga hari kedua.
Mereka yang diundang para pemilik nursery atau pembibitan bunga di Jabotabek dan luar Jawa, kategori para pedagang bunga besar. Mau tahu berapa harga Golden Hope? Ini jawabnya.
Setiap undangan harus membeli 1 paket terdiri 10 pot Golden Hope. Bila 12 orang, berarti bunga yang dipersiapkan adalah 120 pot. Begitu juga hari kedua. Harganya per potnya 10 juta. Jadi pembeli harus mengeluarkan uang 100 juta untuk membeli satu paket. Jadi hari pertama launching, omzet-nya, 1,2 miliar. Total dua hari, 2,4 miliar.
Memang Golden Hope yang dikeluarkan ini hasil penelitian dan silang oleh Greg selama 10 tahun. Dan, baru dikeluarkan pada pada saat pandemi 2020.
Nasuha Bila, pedagang bunga Rawabelong, Jakarta, salah satu undangan, mengatakan dirinya membeli dua paket. Karena sejak 2004 berbisnis aglaonema, dia mengakui bisa membeli dua rumah. ”Tidak ada kata terlambat bisnis Aglaonema. Karena peminatnya semakin tahun semakin banyak,” katanya.
Bila bunga sudah direlease, paling tidak masyarakat umum baru menikmati anakannya 5 sampai 1 tahun kemudian. ”Para pedagang yang membeli sebagian dijual pot ke kolektor. Dan, sebagian diperbanyak lagi dengan cara dipotong dan memakai daun pancingan,” kata Hari, seorang undangan.
Donna Carmen yang kini harganya 15 ribu per batang–bisa jadi harganya dulu seperti Golden Hope saat ini, 10 juta per batang. Fantastis. Jadi belilah Donna Carmen dan ditempeli tulisan di atasnya “Bunga ini Pernah Mahal!”
2021, LAUNCHING TIGA VARIAN CALATHEA (LOTUS LAND)
Pada 20-21 Februari 2021, sang maestro meluncurkan Calathea baru, terdiri tiga varian, Alta, John Tan, dan Nikola. Bunga calathea ini mirip bunga teratai. Sehingga disebut Lotus Land, karena tumbuh di tanah.
Calathea adalah bunga dari pedalaman Hutan Amazon, Amerika Serikat. Berdaun besar, lonjong, dan ada pula bentuknya seperti kipas ada garis-garis khas di daunna. Calathea adalah tumbuhan rumpun jenis herbacepus dengan batang lunak. Tunasnya berasal dari akar umbi di dalam tanah. Fungsi tanaman ini salah satunya bisa menyerap polusi udara.
Greg meneliti dan menyilangkan bunga ini sejak 30 tahun lalu. Hasilnya, tiga varian baru Calathea dinamakan Alta, John Tan dan Nikola. Bunga Calathea baru ini memiliki bunga dengan tangkai memanjang seperti teratai (lotus) berwarna merah dan agak putih.
Jenis Alta, lapis tumpukya satu, warnanya agak putih. John Tan dan Nikola, tumpuknya ada tiga lapis dan tumpuk dan tangkai bunganya memanjang muncul dari tengah daunnya. Teman Greg asal Singapura, Tan Ju Ho, tiga varian Calthea baru bisa dikatakan Land Lotus.
“Bunga ini jenis bunganya tunggal. Dan ini jenis terbagus. Yang menarik, tanaman ini bisa berbunga berkali-kali setelah bunga-nya dipotong. Termasuk bunga potong. Dan, cocok untuk toko-toko bunga hias,” kata Greg ketika peluncuran.
Dia mengaku menyilangkan dan memperbanyak bunga ini sejak 1991. “Kami per hari menyilangkan 1000 bunga. Dalam setahun, kami sudah menyilangkan 300.000 bunga. Dimulai 1991, sampai 2000, adalah 10 tahun, kami sudah menyilangkan 5 juta bunga. Dan, launching hari ini,” kata Greg ketika lauching Calathea.
Soal harga, bisa jadi per potnya 10 juta atau lebih. Namun harga segitu sebanding dengan waktu lama penelitian dan silangnya. “Waktu yang tidak bisa dibeli,” katanya.
SIAPA GREG HAMBALI?
Hasil persilangan Greg sudah bejibun. Karya terakhirnya yang sukses besar sebelum Golden Hope adalah aglaonema Lotus Delight yang dilauching 30 April 2018. Bunga dewasa harganya Rp 5 juta per pot.
Pada 2006, launching aglaonema Harlequin. Hasil silangannya mampu terjual seharga Rp 660 juta lewat proses lelang.
Tampilan bunga saat itu sangat menawan. Saat lelang, sang pemenang, Harry Setiawan, pemilik Irene Flora di Rawa Domba, Jakarta Timur, mengaku aglaonema Greg memang sangat pantas dihargai sebesar itu.
Lelang ini menjadi harga termahal sepanjang sejarah tanaman aglaonema. “Kalau pun harga tidak mahal dari lelang, harga yang wajar juga akan terbentuk dari permintaan di pasar, ” terang Greg.
Tak ingin menyedot keuntungan yang berlipat dari hasil silangannya, Greg juga meyakinkan bahwa pemilik tunggal silangan pertama akan mendapatkan keuntungan pula.
Sebab, jenis baru itu hanya satu orang yang punya. Jika nantinya dapat dianakkan, pemilik aglaonema jenis baru ini memiliki hak jual selama dua tahun. “Jika ingin punya aglaonema jenis baru tersebut, silakan membeli lewat pemilik pertama, ” katanya.
Keahlian mengawinkan tanaman adalah buah kecintaan Greg terhadap alam. Sejak kecil Greg memang sangat mencintai alam. Waktu masih bocah, ia punya hobi mengutak-atik tanaman. Pada saat duduk di kelas 4 SD, Greg bahkan memelihara lebah. “Lebah itu saya pelihara untuk diambil madunya, ” kenangnya.
Ketertarikan pada alam saat itu bukanlah turunan dari orang tua. Menurut anak ke empat dari lima bersaudara ini, kegemaran ini ia jalani secara naluriah. Karena ayah Greg adalah seorang montir elektro. “Ayah saya montir radio dan reparasi kelistrikan, ” jelasnya. Sedangkan sang ibu, merupakan ibu rumah tangga.
Untuk memperdalam pengetahuannya terhadap jenis-jenis tanaman, Greg suka keluyuran di hutan. Lantaran ilmu dari sekolah masih sangat minim, Greg pun menambah pengetahuannya dengan rajin membaca berbagai ilmu pengetahuan, tapi terutamanya yang berhubungan dengan tanaman.
SEJAK SMP BISA MENYILANGKAN TANAMAN
Ilmu dari alam dan dari buku itu memang bermanfaat. Bahkan saat baru duduk di bangku SMP, Greg kecil sudah mampu menyilangkan pepaya. “Saya menyilangkan pepaya burung dikawinkan dengan pepaya semangka (berbentuk bulat), ” katanya.
Sebenarnya, proses ini susah. Apalagi kalau cuma berdasar pengetahuan sekolahan. Tapi, menurut Greg, untuk penyilangan pertama ini, ia berbekal membaca buku soal pembuatan varietas baru. Dan ketika percobaan perdana itu, Greg mengaku cuma iseng.
Begitu masuk SMU, tentu pengetahuan Greg bertambah. Ia mulai menyukai ilmu kimia. Menurutnya, semua pelajaran sains selalu berhubungan satu sama lain. Ia mulai membuat percobaan dengan mencampur bahan kimia.
DITERIMA IPB, BIOLOGI PERTANIAN
Ketertarikan di bidang sains ini membawa Greg memilih masuk ke jurusan biologi. “Saya kuliah Biologi Pertanian di IPB, ” terang Greg.
Saat masuk bangku kuliah pada 1969, Greg semakin yakin bahwa itu adalah jalannya. Bahkan, ia semakin getol menyilangkan tanaman dan buah. Semasa itu, Greg mencoba menyilangkan tanaman jagung.
Keseriusan Greg di dunia tanaman menarik perhatian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kemudian merekrutnya sebagai pegawai. Ketika itu dia bekerja di LIPI paruh waktu. Dan, sebagian waktunya lagi juga untuk kuliah di IPB.
Menurut Greg, yang menariknya ke LIPI adalah Dr. Mien Rifai, Kepala Herbarium Bogor, yang merupakan bagian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan saat itu bernama Lembaga Biologi Nasional. “Saya hanya bermodal ijazah SMU, ” terangnya. Dari situ, keingintahuan Greg terhadap beragam jenis tanaman, cara tumbuh, dan bagaimana sistem reproduksinya semakin berkembang. Di situ, ia juga mulai mempelajari serangga yang membantu reproduksi tanaman.
Greg senang menjadi pegawai di LIPI. Soalnya, ia bisa leluasa mengakses laboratorium LIPI untuk mengembangkan penelitian. Sejak mengawali karier di LIPI pada 1973 silam, ia sudah meneliti salak dan tanaman palem.
Lantaran punya minat cukup besar di bidang konservasi dan pemanfaatan sumber-sumber daya genetik, Greg mendapat banyak tawaran untuk memperdalam ilmu di Inggris. “Saat itu saya belum menyelesaikan kuliah di IPB, ” jelas Greg. Ia baru menggondol predikat sarjana muda dan sedang proses mengerjakan skripsi.
Lantaran tak mau melewatkan peluang mendapat beasiswa, akhirnya Greg memutuskan meneruskan studi ke Inggris meski skripsinya belum kelar. “Saya mendapat beasiswa dari British Council, ” katanya.
Pada 1975, ia berangkat ke Inggris dan menempuh studi di Fakultas Conservation and Utilization of Plant Genetic Resoures di Birmingham Universityu, Inggris. Dia jenius bukan memperoleh beasiswa dalam negeri lho ya, tapi luar negeri.
BELUM LULUS IPB, SUDAH LULUS MASTER DI INGGRIS
Setahun kemudian, Greg berhasil menyelesaikan kuliah di Inggris dan pulang dengan nama baru: Gregori Garnadi Hambali, MSc. Ia langsung menyabet gelar master tanpa harus mengikuti program sarjana S1.
Sepulang dari Inggris, pada 1978, Greg mulai mengaplikasikan ilmunya dengan membuat silangan caladium. Sayangnya, jenis ini tidak dapat bertahan lama. Sebab, menurutnya, walau modelnya bagus, tapi bentuk daunnya tidak kokoh alias loyo. Sehingga, dia pun harus terus mengembangkan agar lebih kuat. Namun rekor harga tertinggi caladium ini hanya Rp 50.000.
Greg juga meneliti tanaman talas. “Saya juga mengembangkan soka, ” katanya. Saat mengembangkan soka, ia tidak pernah mengomersialkannya. Dalam benak Greg hanya ada niat mengembangkan tanaman tropis dalam negeri agar lebih komersil. Caranya, dengan menyilangkan tanaman yang semula biasa menjadi tanaman yang luar biasa.
AKTUALISASI DIRI, KELUAR LIPI
Namun, LIPI sayangnya memiliki program riset sendiri prioritas lembaga. Padahal seharusnya riset harus mendalam ke alam. Apa yang ditemukan di alam ditelusuri terus sampai ada jawaban. Tapi LIPI tidak, lembaga memutuskan riset A ya… harus riset A.
Lantaran berbeda idealismenya ini, kadang usaha Greg mengembangkan tanaman jadi terhambat. Maklum, sebagai seorang pegawai negeri, dia harus mengikuti program dari pemerintah. Merasa dikekang kebebasannya, setelah 11 tahun mengabdi, maka pada 1983, Greg memutuskan keluar dari LIPI.
“Saya ingin lebih mengekspresikan diri saja. Bila di terus di LIPI, mungkin dirinya tidak fokus ke persilangan. Lembaga punya riset sendiri yang terlalu untuk kepentingan semata bukan ke pengertian lebih mendalam ke alam, ” katanya.
Cita-cita Greg adalah menciptakan tanaman varietas baru. Ini bukan persoalan gampang. Pasalnya, untuk tujuan ini, ia mengaku kesulitan mendapatkan dana membiayai proyek. “Pertama kali, saya, ya, jatuh bangun, ” ujarnya. Untung, beberapa teman yang mempunyai perhatian terhadap tanaman mau membantu Greg dengan mengucurkan modal.
Awalnya Greg memiliki riset fokus ke sistem reproduksi tanaman yang dipengaruhi oleh berbagai agen penyerbukan dan pemencaran biji. Agen-agen ini membentuk sebuah persilangan alami yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan keanekaragaman tumbuhan di dunia saat ini. Dengan kata lain, riset awalnya hanya fokus pada reproduksi pada tanaman-tanaman yang nilai jualnya rendah tapi manfaatnya tinggi. Tujuan idealisme.
Pada akhirnya atas anjuran almarhum Aryono, pemilik Aditya Nursery, Greg beralih fokus riset tanaman-tanaman yang nilai komersialnya tinggi. Riset ini berbasis komersil namun nantinya bisa digunakan sebagai modal untuk riset tanaman yang mengandung manfaat tinggi itu. “ Dari pesan almarhum bapak Aryono dengan meriset tanaman-tanaman yang menarik tapi kecil manfaatnya saya bisa punya modal untuk riset tanaman bermanfaat tinggi tapi nilai komersilnya rendah,” ujarnya.
Dia mulai meriset palm. Pada 1986, tanaman ini pernah berjaya. Sayangnya, nilai ekonomis tanaman ini tidak dapat bertahan lama lantaran terjadi kelebihan pasokan di pasar. “Sekarang tanaman ini banyak digunakan untuk real estate, ” terangnya. Ia juga mengembangkan tanaman salak lantaran ingin menciptakan buah salak yang rasanya enak.
Atas bantuan temannya dari Jepang bernama Yatazawa, dia membeli sebuah lahan seluas 1,5 hektar di daerah Baranangsiang, Bogor sebagai laboratorium percobaannya. Lahan ini jaraknya 700 meter dengan rumahnya. Ada gubuk kecil di tengahnya untuk istirahat.
Di lahannya ini pula ditanam berbagai jenis buah dan tanaman seperti Dubang (durian abang), Duren Tapong Kalimantan, Durian Lahong dan salak Selinduh Kalimantan, Pinang Papua, Palem Gajah Putih Thailand, selain tanaman, di sana juga ada penangkaran lebah untuk untuk diambil madunya juga untuk membantu penyerbukan.
Greg juga mengembangkan jenis salak baru bernama salak Teteh, turunan dari salak mawar. pohon salak ini Salak memiliki sedikit duri di pelepah dan batangnya, meskipun buahnya masih kecil dan belum mateng tapi rasanya tidak sepet.
Keunggulan salak ini selain rasanya yang manis, juga bisa di panen kapan saja. Tidak seperti salak pondoh dan lainnya yang harus menunggu musim tertentu untuk bisa dipanen. Hanya saja menurut Greg, salak ini masih perlu beberapa tahun penelitian untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik dan siap diproduksi massal. selain salak Mawar dan Teteh, di sini juga da Salak Merah yang didatangkan dari Sumatra.
Kini, usia Greg sudah kepala tujuh. Tapi semangatnya tidak kalah dari anak muda. Bahkan, dia masih sering jalan ke hutan untuk mencari tanaman yang bisa ia komersilkan.
SANG MAESTRO AGLAONEMA
Menurut Greg, pelafalan aglonema yang tepat adalah aglaonema. Asal katanya aglao artinya daun yang mengkilap. Saat ini, Greg dikenal sebagai ahli penyilangan. Karyanya yang spektakuler adalah the big five aglaonema. Yaitu Tiara, Widuri, Hot Lady, Harlequin, dan Pride of Sumatra. Semua dihargai tinggi per lembar daunnya. Aglaonema Tiara, misalnya, harga per lembar daunnya sempat mencapai Rp 3 juta.
Walaupun sukses sebagai breeder aglaonema, Greg masih punya impian untuk menjadikan tanaman tropis di Indonesia lainnya bernilai jual tinggi. “Kalau bisa tanaman hias kita bisa menghasilkan devisa, ” harapnya.
Awal mula Greg meneliti aglaonema pada akhir 1982. Ketika itu ia masih bekerja di LIPI. “Saat itu, saya menjadi juri tanaman hias di Ancol, ” kenangnya. Karena cintanya pada tanaman, dia sudah mempunyai feeling, jika mengembangkan aglaonema tentu akan menjadi tanaman yang punya daya tarik luar biasa. Dia bilang, saat bertemu pertama dengan aglaonema, keindahannya sudah terpancar.
Pada pameran itu, dia melihat Aglaonema Commutatum Tricolor. Aglaonema itu asal Filipina yang dipamerkan oleh Ibu Nus Sudiono, pemilik Flora Sari Nursery. Dia diberi aglaonema itu dan melakukan riset serta menyilangkan Aglaonema Commutatum Tricolor asal Filipina dengan Aglaonema Rotundum Sumatra. Kemudian lahir lah precursor (anakan belum sempurna ) yang merupakan cikal bakal Pride of Sumatra.
Silangan Pride of Sumatra ini di-launching sekitar 1993. Aglaonema ini menjadi silangan berdaun merah pertama di dunia, selain aglaonema Red Gold yang dihasilkan Sitipom Nursery di Thailand. Pride of Sumatra pernah menjadi juara kedua kontes tanaman hias dunia yang digelar di Belanda.
Penyilangan pertama ini ternyata menarik minat pasar. Buktinya, harga per lembar daun Pride of Sumatra sempat mencapai Rp 300.000.
Harga yang mahal memang sebanding dengan kerja kerasnya. Butuh proses yang rumit untuk menghasilkan Pride of Sumatra. Untuk menghasilkan satu silangan baru, dia harus membuat indukan. Untuk itu semua, butuh waktu riset minimal tiga tahun. Meski idealnya hingga lima tahun. “Itu baru menjadi sebuah tanaman yang menarik, ” terang dia.
PRIDE OF SUMATRA DIPERBANYAK DI THAILAND
Satu hal yang kini jadi penyesalan Greg, dia tidak memperbanyak hasil karya silangannya itu. “Ada seorang penangkar dari Thailand yang memperbanyak sampai 500.000 pot jenis Pride of Sumatra, ” ceritanya.
Jelas Greg tidak mendapat keuntungan dari penjualan aglaonema ini. Padahal jika tanaman ini dijual dengan harga Rp 20.000 per pot saja, bisa menghasilkan Rp 10 miliar.
Greg mengakui, pengembangan tanaman hias di Indonesia terkendala oleh sempitnya lahan dan keamanan.
Setelah menghasilkan Pride of Sumatra, kreativitasnya tak berhenti. Tiga tahun setelah itu, Greg membuat karya baru, yakni aglaonema jenis Aloutte dan Donna Carmen serta Adelia.
Pada 2000, Greg kembali menghebohkan dunia tanaman hias. Ia membuat the big five aglaonema itu.
Pada 2010 pemerintah Indonesia memberi penghargaan Greg penghargaan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa (AKIL). Atas jasanya dalam penelitian dan pengembangan holtikulutura di Indonesia.
Keberhasilannya saat ini bukan tanpa hambatan dan kendala. Dia menceritakan, waktu masih muda, Ia melakukan penelitian di sebuah daerah pedalaman Bogor. Nah, saat sedang asyik mencari sebuah fosil di hutan, tiba-tiba datang seorang anak kecil. Melihat Greg membawa golok yang diselipkan di pingganngya, anak kecil ini kemudian lari sambil berteriak ‘maling’.
Sontak warga yang mendengar teriakan itu kemudian berhamburan berlari menghampiri Greg dengan posisi hendak memukul.
Tapi karena kecerdasannya, Greg memutuskan untuk tidak lari, dn berusaha menjelaskan duduk perkaranya. akhirnya kesalahfahaman itu bisa diatasi. dengan logat sunda, Greg berusaha menjelaskan. “Seandainya saya lari saat itu, mungkin ceritanya lain, saya bisa saja habis (mati),” katanya.
Namun Greg belum puas. Masih ada satu hal yang mengganjal pikirannya. Masih banyak orang yang belum mau mengembangkan tanaman hias secara total.
Dia juga menyayangkan fenomena goreng menggoreng harga tanaman hias, seperti yang terjadi pada anthurium, 2007-2008. Menurutnya, cara itu hanya melahirkan keuntungan sesaat. “Hanya mengambil gampangnya saja, ” kata Greg.
Indonesia sebetulnya punya segudang tanaman hias, termasuk di hutan. Sayang, hutan kini banyak dibabat dan diganti dengan kebun kelapa sawit. Tanpa memperhatikan plasma nutfah yang ada di dalamnya. Ia berharap orang harus punya pikiran jangka panjang dan berkomitmen pada hortikultura.
Dia juga menyayangkan banyak cagar alam di Indoneaia yang tidak terlindungi dari desakan pemukiman warga. Di Bukit Barisan contohnya. “Di sana masyarakat mulai masuk ke wilayah Cagar alam dan membangun pemukiman. Peran pemerintah sangat penting dalam melindungi cagar alam, tidak sekedar wacana di seminar-seminar,” tegasnya.
Meskipun dia banyak bicara, tapi karyanya pun sangat banyak. Bila berdiskusi dengannya, satu pertanyaan bisa dijawab dengan sepuluh jawaban. Nyerocos wae kata orang Sunda. “Banyak bicara tapi juga banyak bekerja”, terus berkarya, berkarya dan berkarya,” ujarnya.
Menurutnya penting melestarikan alam. Salah satu misi hidupnya melestarikan lingkungan hidup dan mengembangkan tanaman hortikultura Indoesia dan bisa bermamfaat untuk orang banyak. “Kita harus menciptakan surga di dunia ini, kalaupun nanti mendapat surga lagi, itu lebih baik lagi,” ungkapnya.
Berikut 25 Aglaonema Hibrida lokal Top Persilangan Greg:
1.Donna Carmen, aglaonema ini dirilis pada tahun 1985 yang namanya diambil dari seorang penjual nasi di Brazil, tempat dimana Greg Hambali singgah untuk makan selama melakukan ekspedisinya.
2.Pride of Sumatera, aglaonema jenis ini dirilis pada tahun 1993. Greg berterima kasih kepada Sumatera karena telah mempersembahkan aglaonema rotundum sebagai penyumbang warna merah yang fenomenal dan menjadi ciri khas dari hasil penyilangan aglaonema ini.
3.Widuri, aglaonema Widuri dirilis pada tahun 2000. Asal namanya terinspirasi dari lagu lama yang berjudul ‘Widuri’. Lagu tersebut mengisahkan tentang seorang gadis yang cantik secantik Aglaonema Widuri.
4.Tiara, aglaonema jenis ini dirilis pada tahun 2004. Namanya berasal dari putri dari petani Eka Saputra, petani tanaman palem di Bogor.
5.Kresna, aglaonema jenis ini dirilis pada tahun 2004.‘Kresna’ adalah nama yang berasal dari seorang raja yang bijaksana. Raja tersebut adalah salah satu tokoh pewayangan.
6.Lipstik, aglaonema Lipstik disebut juga dengan ‘Siam Aurora’.Aglaonema ini dirilis pada tahun 2004/2005. Namanya berasal dari pinggiran daunnya berwarna merah menyala bagaikan bibir yang menggunakan pemerah bibir yaitu lipstik.
7.Hot Lady, dirilis pada tahun 2005, dimana namanya cukup berbeda dengan sebelumnya karena yang memberi nama aglaonema ini adalah anak dari Greg, Nia.
8.Moonlight, aglaonema jenis ini dirilis pada tahun 2005. Namanya berasal dari bentuk daunnya yang bulat dan warnanya kekuningan seperti bulan yang sedang bersinar, sehingga namanya sangat cocok yakni ‘Moonlight’.
9.Romantic Love, dirilis pada penghujung tahun 2010. Aglaonema ini biasa disingkat dengan nama ‘RL’ yang sepintas mirip dengan Aglaonema Moonlight.
10.Angelina, aglaonema yang mempesona ini dirilis pada tahun 2004.
11.Adelia (2000), aglaonema ini diambil dari nama temannya kolektor Manila, Adelia Angeles.
12. Madam Soeroyo (2004), aglaonema ini diambil dari nama sahabat Greg, Tanti Soeroyo
13.Angela (2004)
14.Sinta (2004), aglaonema ini terinspirasi dari tokoh pewayangan Rama dan Sinta
15.Sexy Pink (2004), aglaonema ini didominasi warna pink
16.Jayatu (2004), aglaonema ini terinspirasi dari tokoh burung dalam pewayangan.
17.Ruby (2006), aglaonema ini adanya bercak warna rubi
18.Petita (2004), aglaonema ini bentuknya langsing dan indah.
19.Srikandi (2004), aglaonema ini terinspirasi dari tokoh wanita pewayangan Srikandi.
- JT 2000 (2000), aglaonema ini diambil dari nama sahabat Greg asal Singapura, John Tan.
21. Ruth (2005), aglaonema ini diambil ahli Botani Malaysia, Ruth
22. Lisa (2004), aglaonema ini diberi nama Lisa karena terlihat feminim
23. Dolores (2004/2005), aglaonema ini diambil dari nama nursery (pembibitan) di Florida, Dolores
24. Diana (2004), aglaonema ini diambil dari Putri Diana (Lady Di), Inggris
25. Lotus Delight (2018), aglaonema ini dilauching 30 April 2018 dan harga per potnya Rp. 5 Juta. Dalam acara launching tidak ada pembatasan undangan
26. Golden Hope (2020), aglaonema ini di pasaran masih harga 15-20 jt per pot. Golden hope berharap ada harapan baru di masa pandemi Covid-19.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Dan, kita selalu mensyukuri dan menghargai kelestarian alam. (*)
* Penulis : Mochamad Makruf/Berbagai Sumber
Wartawan Madya-PWI-Dewan Pers