MENGAPA ORANG KABUR DI-RAPID TEST?

1403
Pelanggar jam malam PSBB 2 Sidoarjo dikumpulkan di Mapolresta Sidoarjo dan di-rapid test. (Foto Ary/Pijaronline)

INI  pengakuan dari salah seorang pasien OTG (Orang Tanpa Gejala) yang sudah terbebas dari Covid-19. Dia menolak namanya disebutkan. Dia tetangga RT. Tinggal di Kelurahan Sidoklumpuk, Kecamatan Kota Sidoarjo. Sebut saja namanya Andi.

Semula Andi mau saya wawancarai untuk profile penyintas Covid-19 untuk materi feature website Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP) kerjasama Dewan Pers dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Tapi karena istrinya yang kerja di pabrik farmasi keberatan, akhirnya wawancara batal. Tapi dia sedikit mengungkapkan pengalamannya ketika positif Covid dan harus menjalani masa karantina 14 hari dan berlanjut total sampai 1,5 bulan.

Pengalaman terpenting, mengapa orang kabur di-rapid test? Karena ketika orang di-rapid test dan hasilnya reaktif, tentu harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Selama 14 hari mendekam di rumah, tetangga atau pihak desa atau kelurahan hanya membantunya dengan dikirim nasi kotak. Dan, bantuan BLT atau berupa uang tidak ada.

“Nah, bila pasien OTG ini  harus 14 hari tidak kerja, siapa yang menanggung biaya tagihan listrik, telepon, air, biaya anaknya sekolah. Siapa? Pemerintah? Pemerintah melalui kelurahan atau desa hanya membantu makan tapi tidak subsidi uang.Ini yang bikin orang kabur di-rapid test,” kata Andi.

Bila pemerintah memberikan bantuan makan dan BLT misalkan Rp.100-200 ribu per hari bagi orang yang isolasi mandiri, tentu semua orang tidak keberatan di-rapid test. “Bila dibayar ya silakan rapid test.  Berdiam diri di rumah 14 hari dibayar, kan enak. Bila molor sampai 1,5 bulan dibayar tambah enak,” katanya.

Tapi fakta yang dialaminya selama isolasi mandiri 1,5 bulan sangat berat. “Saya hanya diberi nasi kotak dan tidak ada BLT atau subsidi uang. Ini berat.  Saya selain memikir gejala sakit Covid juga memikirkan tagihan-tagihan saya,” katanya.

Andi lantas menceritakan awal dirinya terpapar Covid-19. Dia adalah driver online. Suatu kali, dia mengantar seorang penumpang dari Sidoarjo ke Pasuruan. “Setelah makan pagi pukul 07.00, saya langsung meluncur ke Pasuruan,” ujarnya.

DAYA TAHAN TUBUH LEMAH, COVID MERAMBAH

Perjalanan dari Sidoarjo ke Pasuruan memakan waktu sekitar 1 jam. Setelah drop penumpang, dia harus menjalani urusan lain di Pasuruan. Sampai waktunya makan siang, dia abaikan. Dia asyik dengan pekerjaan. Baru sekitar pukul 17.30, dia balik ke Sidoarjo. Setibanya di rumah, dia disambut hangat istrinya. ”Saya baru makan malam  pukul 19.00,” katanya.

Setelah begadang sampai pukul 24.00, dia baru tidur. Pagi dia sudah bangun dan kerja lagi. Sekitar pukul 10.00, dia harus kerja keras memotong dahan pohon yang cukup besar. Perlu energi besar untuk bisa memotongnya. Setelah keringat bercucuran, dahan baru bisa terpotong.

Tapi pada malam hari, dia merasa demam. Tubuhnya menggigil. Selain itu, perutnya juga merasa mulas, nyeri-nyeri. “Sakit seperti diaduk-aduk di dalam perut.  Saya kira tipes saya kambuh lagi. Karena saya punya sakit bawaan tipes,” ujarnya.

Demam dan perut nyeri terus berlanjut sampai keesokan harinya. Pada hari ketiga, sakitnya belum reda. Dia kemudian memeriksakan diri ke Poliklinik BPJS Faskes I di Jalan Kombespol M Duryat. Kata dokter, dia tidak apa-apa. Dia hanya diberi obat penurunan demam dan perut nyeri. ”Namun sampai 4 hari, sakit belum reda,” kata Andi.

Dia akhirnya memeriksakan diri ke RSUD Sidoarjo. Dia di-rapid test dan hasilnya reaktif.  Dokter lantas menyarankan Andi untuk isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Ketika seorang warga kampung terpapar Covid, pihak desa atau kelurahan, petugas Puskesmas kecamatan dan Satgas Anti Covid langsung monitor. Andi pun masuk daftar sebagai pasien terpapar Covid.

“Istri dan dua anak saya sudah mengungsi  ke rumah mertua. Sebelumnya, mereka di-rapid test, dan hasilnya non reaktif. Jadi saya sendiri yang terpapar. Saya isolasi mandiri di rumah sendiri selama 14 hari,” katanya.

Ketika isolasi diri, apa ada bantuan makanan dari kelurahan? ”Iya. Saya memperoleh nasi kotak sebanyak 15 kotak per hari,” katanya. Kok banyak? ”Nasi kotak dihitung didasarkan jumlah keluarga saya. Saya, istri dan dua anak. Jadi 4 orang. Dan, diberi 15 kotak,” katanya.

Ini yang jadi masalah. “Ketika diisolasi diri, saya kan tidak kerja. Keuangan saya terganggu. Daripada diberi 15 nasi kotak, saya makan sendiri kan lebih baik, nasi kotak lima saja, dan sisanya diberikan dalam bentuk uang. Ini lebih bermanfaat. Sehari diberi uang 100 ribu atau 200 ribu lebih berarti. Dibandingkan semuanya berupa nasi,” kata Andi.

Ketika masa 14 hari selesai, Andi mengaku di-tes swab. Hasilnya positif. Dia menjalani karantina lagi. Dan, tes swab lagi. Hasilnya positif. Dia menjalani perpanjangan isolasi diri 14 hari lagi yang kedua.  Pada tes swab kedua, hasilnya positif lagi. Dia harus menjalani perpanjangan isolasi diri 14 hari ketiga. Bayangkan satu setengah bulan tidak ada bantuan uang.

Ketika masa isolasi diri, dia mengaku mengkonsumsi vitamin-vitamin yang diberikan dokter. Obat demam tidak habis diminumnya. Imunnya semakin baik karena berbarengan nafsu makannya normal. Tapi yang tidak normal adalah kondisi keuangannya. Tidak ada pemasukan.

BLT SEHARUSNYA JUGA UNTUK PASIEN ISOLASI MANDIRI

“Ketika saya betul-betul ada pemasukan  tapi tagihan jalan terus, saya nekad keluar rumah untuk kerja ketika masa karantina. Tapi saat itu kondisi saya sudah baikan. Makan sudah enak. Ada tetangga   mengatai, saya  cuek saja. Apa tetangga itu  mau bayar tagihan saya?  Saya biasanya keluar malam hari,” katanya.

Masa isolasi diri 14 hari ketiga sudah dijalaninya. “Saya tes swab ketiga. Tapi hasilnya tidak diberitahukan negatif atau positif. Saya kemudian minta surat keterangan sehat untuk keperluan kerja. Pihak rumah sakit akhirnya memberikan saya surat keterangan sehat,” katanya.

Kini Andi sehat dan bisa bekerja seperti semula. Dia pun bisa berkumpul dengan keluarganya. Masukanya, sebaiknya orang yang menjalani isolasi diri, pemerintah melalui desa atau kelurahan selain diberi nasi kotak juga harus disubsidi uang atau BLT. “Karena orang yang menjalani isolasi diri berat. Selain memikirkan gejala sakit  Covid yang diderita, juga memikirkan keuangan keluarga. Bila sedih, imun bisa turun,” katanya.

Kedua, BLT yang kemarin diberikan kepada warga berdampak covid, seharusnya juga dialokasikan untuk pasien OTG yang menjalani isolasi diri. Dengan bantuan uang bagi pasien OTG tentu sangat berarti. Masalah dirinya sudah terkurang tak memikirkan keuangan keluarga. Pasien nyaman dan imun pun bertambah.( Mochamad Makruf)*

*Penulis Peraih FJPP-Dewan Pers-Satgas Penanganan Covid-19