Pandemi, Omzet Naik, Pembeli Para Isoman

414
Menu asem-asem daging salah satu menu andalan DMG/photo/makruf/pijaronline.net

Kiat Bisnis UMKM DMG Sidoarjo di Era Pandemi

Nama usahanya lucu. Dapur Mbok Geol (DMG). Namun di balik DMG, ternyata pendirinya seorang dosen dan konsultan bisnis dan pemasaran. Dia adalah Edwin Fiatiano, S.Sos, MSi. Bila bicara soal pemasaran bisnis online tanyakan padanya. Dia pakarnya. Dia dosen D3 Manajemen Pemasaran, Vokasi, Universitas Airlanggga (Unair). Bagaimana dia mendirikan di DMG dan strategi bisnis di era pandemi? Berikut laporannya.

Oleh: Mochamad Makruf

SABTU (04/12) siang, saya mendatangi DMG di blok FM No. 2, Perumahan Puri Indah Lestari,Cemengkalang, Sidoarjo. Masuk mentok dan belok kanan. Ketika tiba di lokasi, ada meja dan kursi resto tertata di teras rumah. Tiga pegawainya laki-laki terlihat sibuk menyiapkan menu untuk customer. Mereka memakai kaos biru berkerah oranye. Dan, logo oranye DMG di dada kiri

Ada banner Resto Bisnis tertempel di tembok. Cukup rapi. Ternyata pemilik rumah siang itu tengah berbincang dengan tetangganya. Melihat,kedatangan kami, dia langsung menyudahi pembicaraanya dengan tetangga.

“Halo, bagaimana kabar? sapanya. Orangnya berperawakan besar. Suaranya besar. Dan, cara bicaranya juga spontan. Bila dia menyampaikan teori bisnis online, mantap didengar. Tentunya dia memiliki banyak mahasiswa. Mahasiwa satu frekwensi dengannya. Entreprenuer, bisnis online, khususnya kuliner.

Darinya saya baru tahu ternyata bisnis kuliner itu perlu strategi termasuk memilih kemasan. Apakah kemasan perlu didesain penuh warna dan terkesan elegant. Atau sekedar kemasan hanya putih dan ada logo di tengahnya.

Dialah Edwin. Rekan-rekannya di IKA (Ikatan Alumni) Unair Sidoarjo, akrabnya memanggilnya Geol. Ya..Geol. Sesuai dengan nama bisnis kulinernya. Nama itu terinspirasi dari anaknya ketika menyebut cara berjalan berlenggak-lenggok. Geal-Geol. “Saya namai bisnis kuliner saya ini, Dapur Mbok Geol. Singkatanya DMG,” kata Edwin yang angkatan Fisip Unair pada 1992.

Edwin menuturkan DMG berdiri sebelum pandemi pada 2019. Di Jalan Sunandar Prio Sudarmo VIII. Depan SPBU Pasar Larangan. Sebelum DMG berdiri, pada 2018, bisnis kulinernya hanya menjual lauk saja tanpa nasi. Semula lokasi berjualannya di Surabaya.

”Awalnya istri berjualan lauk karena diajak kerja sama temannya. Dia diminta menyediakan lauk makan sehari-hari. Dia konsultasi ke saya. Saya bilang daripada kerja sama kan lebih baik dikerjakan sendiri. Dari situ, kami mulai berjualan lauk,” kata Edwin.

Pembeli usaha kulinernya sebagian besar teman-temannya FB dan IKA Unair Sidoarjo. Dia masuk WA grup IKA Unair Sidoarjo sendiri pada 2017. “Jadi penjualannya off line. Tapi pelanggannya banyak dari online yakni teman-teman saya di FB dan IKA Unair,” jelasnya.

Ternyata semakin lama, pelanggan kulinernya semakin banyak. ”Kemudian ada usul dari pelanggan saya. Apakah tidak sekalian menjual nasi juga? Ya sudah saya kemudian menjual nasi,” kata Edwin.

Pada 2019, kemudian DMG berdiri. Menu pertama yang diluncurkannya hanya enam saja yakni ayam lengkuas, ayam katsu, ayam saos, chicken egg rool, sambel goreng ati, dan makanan ujung pandang.

Saya meluncurkan lauch box untuk makan siang. Desain kemasannya kecil, seperti cangkir ukuran besar. Di dalamnya ada nasi dan ditumpuki lauk. Bila dicek di IG dapurmbokgeol harganya 18 K untuk rice bowl, ayam saus telur asin. “Menu ini salah satu favorit pelanggan. Kini menu DMG juga banyak. Perbanyak menu juga atas permintaan pelanggan,” kata Edwin.

DMG kemudian meluncurkan produk nasi kotak dan selanjutnya launch box. Nasi kotak menunya antara lain ada paket krensengan daging dan ayam kremes. Harganya di angka 20 K sampai 25 K per kotak. Dan, kemasannya sederhana saja, putih polos. Launch box ada menunya antara lain ayam lengkuas dan empal gepuk. Harganya 17 sampai 20 K per kotak.

Mengapa kemasan putih polos? “Ini strateginya. Menganalisa perubahan landscape bisnis ada model 4C. Change, Customer, Competitor dan Company. Jadi kita harus analisa competitor. Di pasar nasi kotak, kompetitornya banyak. Sebut saja Nila Kandi di Sidoarjo. Desain kemasan berwarna-warni dan terkesan elegant. Harga jualnya Rp 35 ribu per kotak.

“Lha DMG bila pakai kemasan yang berwarna-warni seperti Nila Kandi, ya tentu kalah modal. Melawan arus. Melawan arus harus bila modal besar tidak masalah. Tapi bila modal kecil, ya kukut. DMG harus ubah punya strategi, ” jelas Edwin.

Jadi DMG menurut Edwin, harus pilih pasar yang aman yakni green ocean. DMG kemudian menempatkan diri di pasar tengah. “Posisinya di atas nasi yang kemasan sterefoam. Di situ kita bermain. Harga Rp 25 ribu per kotak. Tentu kualitas menu juga harus nikmat,” jelasnya.

Strateginya ternyata berhasil. Karena menurut hasil risetnya, pelanggan itu tidak penting kemasannya. Yang terpenting menunya enak. “Bila kemasannya bagus tapi menu tidak enak. Kan juga percuma,” katanya.

Bagaimana dengan harga? ”Ini yang menarik. Pasar Sidoarjo dan Surabaya ini beda. Bila surabaya, diberi harga tinggi, selama konsumen suka, pasti dibeli. Tapi di sidoarjo, harga tinggi, mikir dulu dan tidak jadi beli. Setelah saya riset, ternyata pasar Sidoarjo, suka harga rendah dan diberi bonus-bonus. Terjualnya lumayan,” katanya.

Bagaimana penjualan di era pandemi? “Terus terang, DMG di era pandemi membawa berkah. Karena omzetnya bisa naik 100 persen. Karena konsumen di era pandemi suka berdiam diri rumah. Maka penjualan kuliner online yang berkuasa. Konsumen tinggal telepon dan pesan, kami mengirimya dengan kurir.Promo kami biasanya gratis ongkir untuk wilayah Sidoarjo,” jelas Edwin.

Menariknya, para pembeli DMG di era pandemi adalah orang yang terinfeksi Covid dan menjalani isoman (isolasi mandiri). Ada perilaku konsumen yang unik. ”Jadi A punya 7 teman. Ketika A terinfeksi Covid dan isoman di rumah, maka awalnya satu dari tujuh temanya membelikan paket DMG kepadanya. Si A mengucapkan terima kasih dikirimi makanan. Ini dipamerkan di WA grupnya dan FB nya. Jadinya teman ke-2 sampai 7 ingin juga membelikan si A. Mereka pun membelikan paket DMG,” jelas Edwin.

Ketika si A ini sembuh. Dia ingin berbalas budi kuliner. Si A kemudian membelikan paket DMG dan diberikan yang lainnya iri dan membelikan DMG lagi. ”Jadi penjualan circle seperti itu. Itu baru satu kelompok pertemanan. Bila ada 10 kelompok dan circle saling membelikan kan lumayan,” katanya.

Namun di awal pandemi, dia juga sempat tersungkur. Pada Februari 2020, bisnisnya mulai menanjak. Ternyata pembelinya sebagian besar warga Surabaya. Padahal posisinya di sidoarjo. Memangkas ongkos kurir, dia buka cabang di Rungkut.

“Saya kontrak sebuah rumah, ada dua pekerja, dan peralatan masak. Total investasi 50 juta. Namun belum operasional, pada Maret atau April 2020, Rungkut zona hitam. Kami terpaksa tutup dan berhentikan pekerja. Jelas kami tidak bisa jualan. Investasi pun hilang,” jelas Edwin.

Owner Dapur Mbok Geol (DMG), Edwin Fiatiano, S.Sos, MSi yang juga dosen praktisi D3 Manajemen Pemasaran, Vokasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya/photo/makruf-pijaronline.

DMG ternyata juga masih menjual lauk. Misalkan, ayam kampung bakar bumbu kecap. Dia memilih ayam kampung yang beratnya 1 kilogram. Dia memotongnya menjadi 12. “Karena itu berarti bila keluarga terdri 4 orang, maka lauk itu bisa dimakan pagi, siang dan malam. Kami harus memperhitungkan itu semua,” tegasnya.

Edwin juga terkadang membantu mahasiswa mengembangkan pasar. Ada mahasiswa punya produk coffee beer minuman tempoe doloe asal Lamongan. Dikemas dalam botol kecil yang sebelumnya botol besar. Dia berkolaborasi dengan mahasiswanya dan menjualkan coffee beer itu di restonya. Harus ada simbiosis.

Di restonya itu dinamai Resto Bisnis. Kalau konsepnya betul-betul resto yang modalnya mahal. Tapi ini kan resto bisnis. Artinya pihaknya juga terima pelanggan membicarakan atau konsultasi bisnis dengannya. ”Saya ada klien terkait konsultasi bisnis,” ujarnya.

Bagaimana promosi? Saya selama ini promosi kuliner ini melalui FB, IG dan Wa-Wa grup. Kalimat promo saya, Buat Bunda yang sibuk dengan kerjaan enggak ada waktu buat memasak. Jangan khawatir, penuhi gizi keluarga dengan lauk ” Ayam Saus Telur Asin”. Dijamin keluarga bertambah ceria,” jelasnya.

Bagaimana omzet? “Ada kenaikan 100 persen. Pada Agustus ini, omzet sekitar 50 juta per bulan. Sebelumnya pada Januari di angka Rp 22 juta. Saya berdoa agar pandemi segera berakhir. Ekonomi bisa terangkat lagi,” ujar Edwin. (*)

Penulis adalah Wartawan Madya, PWI-Dewan Pers