Pendidikan Tinggi Atasi Kemiskinan

609
Penulis bersama rekannya dari Australia ketika sebagai peserta Australia-Indonesia Youth Exchange Program 1993-94. Program ini beasiswa dari AII (Australia Indonesia Institute). (foto:dok pribadi)

Education can break the cycle of poverty. Pendidikan bisa memghancurkan rantai kemiskinan. Itu yang terjadi pada sejarah hidup saya. Pendidikan, gigih, dan kerja keras ternyata bisa mengangkat saya dari kemiskinan.

Saya lahir dari keluarga miskin di Desa Sawotratap, Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Kedua orang tua saya hanya penjual sayur di pasar tradisional. Dan, penghasilan mereka pun hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Bapak hanya lulusan SR (sekolah rakyat), sedangkan ibu tidak sekolah. Saya adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Dan, rata-rata pendidikan lima saudara saya hanya tamatan SD. Itu saja. Itu  semua karena orang tua kami tidak punya biaya menyekolahkan  sekolah lebih tinggi.

Saya tidak menyesalinya.  Intinya  saya harus bekerja keras dan sedikit out of the box  thinking.  Mengapa orang tua saya miskin?  Ada jawabannya. Kuncinya, terletak pada kepala keluarga. Saya nantinya sebagai kepala keluarga harus hidup sukses  bila ingin keluarga, istri dan anak-anak tidak miskin. Sabda Nabi Muhammad SAW, nasib suatu kaum tidak akan berubah sebelumnya kaum itu sendiri mengubahnya.

Saya memerangi kemiskinan melalui pendidikan tinggi (PT). Saya tanamkan saat itu, saya harus lulus sekolah minimal sarjana (S1). Karena di periode 1991-1996, kesempatan kerja lulusan sarjana masih banyak.

Untuk  bisa masuk perguruan tinggi pun juga sulit. Kerja keras dan banyak rintangan. Ibarat mendaki gunung, kita harus kerja keras mendaki untuk tiba di puncak. Itu semua harus dijalani.

Bagaimana effort saya masuk PT?  Diawali, ketika saya sekolah di SDN masih dibiayai orang tua.  Lulus SD selanjutnya saya  diterima di SMPN I Gedangan. Di SMP ini , orang tua sudah tidak mampu membiayainya.  Biaya sekolah dibantu kakak kandung.  Ketika SMP ini, saya ingat mata pelajaran Bahasa Inggris favorit saya. Saya ada nilai 9 di rapor. .

Lulus SMP dan masuk peringkat 10 peraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi, 48,8, (rata 8 dari 6 mapel unas) suatu kebanggaan. Tapi  akhirnya kesedihan. Kakak dan orang tua tidak mampu menyesekolahkan saya ke SMA.

Dengan nilai itu, saya bisa masuk SMAN I Sidoarjo yang terfavorit. Banyak teman saya semasa SMP diterima di sekolah tersebut.  Mereka sekolah dibiayai orang tua. Saya iri juga tapi apa daya. Jadi tidak enak jadi orang miskin.

Terpaksa, saya harus berhenti sekolah setahun. Saya bekerja serabutan dan berharap di tahun berikutnya saya bisa sekolah SMA.  Tidak penting negeri atau swasta. Yang terpenting saya bisa sekolah SMA.

Alhmadulillah, saya diterima bekerja di perusahaan swasta yang mengizinkan saya untuk sekolah SMA sore. Saat itu ada SMA sore. Masuk pukul 14.00 pulang pkl 18.00.   Saya masuk SMA Pancasila Waru.

Karena sudah  memiliki gaji sendiri, saya bisa kursus Bahasa Inggris di Balai Bahasa IKIP (Kini Unesa) Surabaya dan Public English Facility (PEF). Saya harus memupuk potensi saya. Saya yakin potensi ini akan bisa mengubah jalan hidup.

Pada 1991, saya lulus SMA. Dengan tabungan cukup dan bernodal utang juga, saya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi kelas sore yakni Universitas Dr. Soetomo, Semolowaru, Surabaya. Saya mengambil Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris. Karena saya suka bahasa Inggris dan memiliki potensi.

Peroleh Beasiswa AII  (Australia Indonesia Institute)

Pada semester tiga, saya terpilih sebagai peserta pertukaran Pemuda Indonesia-Australia atau Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP). Program ini berlangsung di Australia (Queensland; Brisbane, Toowomba, dan Millmerran) dan Indonesia (Sumatra Utara; Medan dan Deli Serdang). Program disponsori oleh AII (Australia Indonesia Insititute) dan Kementrian Pemuda dan Olahraga.

Selepas program AIYEP, saya tergabung di organisasi PCMI (Purna Cara Muda Hidup) Jawa Timur. Organisasi di mana alumni pertukaran pemuda internasional berkumpul dan berkiprah.

Lulus kuliah 1996. Pada 997, saya diterima sebagai wartawan Jawa Pos juga karena program AIYEP. Saya kemudian sebagai wartawan Jawa Pos dan Jawa Pos Group (Suara Indonesia, Radar Surabaya, Harian Rek Ayo Rek) sampai 2008. Pada 2006-2008, saya sebagai Pemred Harian Kriminal Rek Ayo Rek.

 Pada 2009, saya memasuki penerbitan buku PT. Jepe Press Media Utama (JP Books). Saya menulis tiga buku yang diterbitkan JP Books. Selayang Pandang Gunung  Berapi di Indonesia, buku referensi perpustakaan untuk SD, SMP, SMA. Buku ini memperoleh SK Puskurbuk kategori bagus. Karnaval Jember Mendunia, juga memperoleh SK Puskurbuk, dan Ekspedisi Bukit Barisan 2011 (Kopassus). Buku terakhir sempat masuk Gramedia.

Saya juga pernah menjadi alternate candidate Fulbrigt-AMINEF Scholarship, Master Degree Program pada 23 Agustus 2012. Saat itu, saya aplikasi beasiswa Master of Journalism.  Namun karena IBT Toefl, 78/547,  pada 8 Januari 2013, saya  gagal memperoleh bea siswa tersebut karena Fulbright meminta angka IBT Toefl, 600.

Diterima Flinders University, Ditolak Beasiswa Dikti  LN

Dengan IBT Toefl, 78/547, saya gunakan aplikasi ke Master of  International Relations di Flinders University, Adelaide, Australia.

Pada 14 Maret 2013, saya memperoleh Offer of Admisision /unconditional letter untuk memasuki universitas tersebut. Tapi saya tidak bisa memasukinya karena proposal bea siswa Dikti LN tidak disetujui. Itu karena, saya tidak memiliki NIDN (nomor induk dosen nasional). Saat itu, saya tercatat dosen di PTS di kawasan Surabaya Timur.

Saya kecewa dan menulis surat pembaca di Kompas dan dimuat. Hasilnya, bukannya saya dapat beasiswa dari Dikti LN, malahan pihak Dikti menegur PTS saya tersebut. Birokasi menghancurkan cita-cita saya. Sampai saat ini pun saya belum menempuh pendidikan master.

Penulis ketika berkunjung ke Frankfurt, Jerman. (foto: dok.pribadi)

Entrepreneur

Pada Januari 2018, saya mengundurkan diri dari JP Books dan mendirikan usaha sendiri  Pena Semesta Media, penyedia resmi buku teks K 13 Kemendikbud. Pena Semesta Media, bergerak di bidang media, penerbitan buku dan media online. Mediaonline-nya, www.pijaronline.net yang konsen pada berita positif soal pendidikan dan inspirasi. Saya kini sibuk menangani bisnis baru saya tersebut dan yang terpenting terlepas dari kemiskinan.

Masukan

Dari pengalaman saya di atas, kemiskinan bisa diberantas dengan pendidikan tinggi. Syaratnya minimum pendidikan harus S1 (Sarjana) dan harus menjadi enterpreneur atau pengusaha. Dan, tentunya  diperlukan kerja keras, dan pantang menyerah.

Itu rumus kehidupan bila ingin sukses. Rumus itu sudah saya lakukan dan alami sendiri. Perjuangan saya memerangi kemiskinan dimulai setelah lulus SMP sampai lulus kuliah dan menjadi wiraswasta. Setelah itu, saya bisa mengubur dalam-dalam kemiskinan.

Yang terpenting kenali sejak dini potensi anak kita. Bila dia suka bahasa Inggris, ya masukan saja ke Sastra Inggris. Seperti yang saya lakukan. Karena dari situ nanti bisa mengubah jalan hidup.

 Pendidikan Tinggi, Indonesia Tertinggal 266 Tahun Dengan USA

Pendidikan tinggi adalah langkah awal menuju keluarga mandiri dan sejahtera.  Bila Indonesia ingin seperti negara maju ; income per kapita tinggi, UMR tinggi, maka pendidikan harus dibenahi. Masyarakat Indonesia harus didorong mengenyam pendidikan tinggi, minimal Sarjana (S1). Wajib belajar bukan 9 tahun saja tapi harus 16 tahun.

Terus terang  sejarah perguruan tinggi di Indonesia jauh tertinggal 266 tahun dibanding Amerika Serikat.  Dalam www. cleary university.com/ history of  higher education in US, perguruan tinggi pertama di Amerika adalah Harvard College yang didirikan pada 1636  di Cambridge, Massachusetts.  Harvard College itu kini dikenal sebagai  Harvard University.  Salah satu  universitas ternama di  di dunia.

Harvard College ketika era pendudukan Eropa di  negara yang kemudian disebut  Amerika Serikat—itu  dulu disebut colonial colleges. Setelah Harvard, kemudian didirikan College of William and Mary, Yale University, Princeton University, Columbia University, Brown University, Rutgers University, and Dartmouth College.

Di awal masa kolonialisme Harvard didirikan kali pertama adalah untuk menyediakan pendidikan  untuk kebutuhan kementerian. Tapi  setelah Revolusi Amerika, perguruan tinggi ini juga membuka fakultas kedokteran dan hukum

Pada abad 19, misi pendidikan tinggi di Amerika berubah secara radikal dengan membuka fakultas-fakultas praktis. Seperti  fakulitas pertnian dan  engineering.

Bagaimana perguruan tinggi di Indonesia? Menurut wikipedia,  kali pertama perguruan tinggi muncul di Indonesia di era kolonialisme Belanda  yakni pada 1902. Di  Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera). Pada 1913, sekolah ini kemudian berubah nama NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School) yang berkedudukan di Surabaya .

Ketika STOVIA tidak menerima murid lagi, didirikanlah sekolah tabib tinggi GHS (Geneeskundige Hooge School) pada  1927. Perguruan inilah yang sebenarnya merupakan embrio kedokteran Universitas Indonesia..

Pada 1920 di Bandung,  didirikan Technische Hooge School (THS).  THS ini adalah embrio Institut Teknologi Bandung.  Dan, pada 1922 didirikan Textil Inrichting Bandoeng (TIB) ini lah embrio Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung.

Dengan data tersebut di atas, bangsa Indonesia tertinggal dengan Amerikaselama 266 tahun dalam  mengenyam pendidikan tringgi.  Dalam masa dua setengah abad lebih itu, sudah berapa banyak sarjana atau ilmuawan dihasilkan Amerika. Karena itu tidak salah Amerika menjadi negara maju. Cara berfikir mereka tentu lebih maju dari kita.

Menurut  The National Science Foundation, data 1998-2008 (www.quora.com)  lulusan doktor atau PhDs di Amerika Serikat selama kurun waktu 10 tahun itu sekitar 48.000. Menurut sensus the Hill, , 2%  dari total penduduk Amerika sudah  bergelar doktor. Bila penduduk Amerika, 325, 7 juta (2017) maka 6,5 juta penduduknya sudah bergelar doktor.

Bagaimana dengan doktor di Indonesia?

Menurut data LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), pada 2012 Indonesia, memiliki doktor baru mencapai 25.000 orang. Dua tahun kemudian angka itu naik mencapai 75.000. Atau dalam 1 juta penduduk Indonesia, ada 143 doktor.  Ini  jauh tertinggal dari Cina yang memiliki 500.000an doktor.  Jadi untuk atasi kemiskinan langkah jitu adalah pendidikan tinggi dan menjadi entrepreneur. Pasti bisa.(ruf)

Penulis ketika berkunjung ke Paris, Perancis. (foto:dok pribadi)

*Tulisan pernah dimuat di www.cowasjp.com.