Kisah Zainuddin Iskan Terbebas Covid-19 dengan Herbal dan Dzikir
Zainuddin Iskan (63) nama terakhirnya sama seperti Dahlan Iskan. Iya Zainuddin adalah adik kandung Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN dan CEO Jawa Pos. Sebelum Dahlan Iskan terpapar Covid, Zainuddin yang juga mantan wartawan senior Radar Madiun sudah terpapar lebih dulu. Menariknya, Zainuddin sembuh dari Covid hanya isolasi mandiri, minum obat herbal dan berdzikir. Berikut penuturannya.
INI kisah nyata yang saya alami sendiri. Pertengahan Desember 2020 sampai 3 Januari 2021.
Bagaimana saya berjuang meredam paparan Covid-19 sendirian di rumah saya. Alamat rumah saya: Jalan Kartikamanis, Madiun.
Ketika terpapar Covid-19 tersebut, tidak ada seorang lain pun yang tahu. Bahkan istri saya pun tidak tahu. Saya memang sengaja merahasiakannya. Agar mereka tidak sedih dan cemas.
Setelah Allah SWT mengaruniakan kesembuhan kepada saya dari paparan Covid tersebut, saya kaget mendengar kabar Mas Dahlan Iskan’ masuk Rumah Sakit Premier Surabaya karena terpapar positif Covid-19.
Dia kakak kandungku satu-satunya yang masih hidup. Padahal dia orang yang sangat ketat menjaga protokol kesehatan selama pandemi ini.
Semua orang tahu, dia orang yang harus menjaga kesehatannya. Setelah melakukan operasi ganti hati di Tianjin Cina, 17 tahun lalu.
”Tenang aja mase. Pasti sembuh”, kataku untuk memberikan semangat. Ketika itu saya kaget dan heran, dari mana mas Dahlan, yang begitu disiplin menjaga kesehatannya sampai bisa terpapar virus Corona.
Ternyata dia tertular ketika pergi dari rumahnya di Surabaya ke Takeran Magetan. Untuk melakukan rapat Pengurus di Pondok PSM Takeran. Karena ketuanya Gus Amiek ( Kyai H. IR. Miratul Mukminin) meninggal dunia gegara terserang Covid-19 beberapa waktu lalu.
Dari sinilah rupanya Mas Dahlan tertular virus Covid 19. Karena istri Gus Amiek, yang sebelumnya juga positif Covid, ikut dalam rapat itu.
”Awakmu juga kena ya Din”, tanya mas Dahlan kepada saya, setelah saya sembuh.
Saya kaget, Mas Dahlan tanya seperti itu. Koq bisa tahu. Padahal saya rahasiakan. Mungkin firasat seorang kakak kandung. Dan saya pun mengaku telah terpapar Covid-19.
Untuk menambah semangat Mas Dahlan menghadapi serangan Covidnya. Saya bilang kepadanya: “Saya sudah sembuh dengan isolasi mandiri di rumah.Saya udah pulih seperti sedia kala dan aktif di masjid lagi.”
Saat kakakku menjalani perawatan di RS Premier Surabaya, aku sudah benar-benar sehat.
Sebenarnya, ketika terpapar Covid-19 kondisiku jauh lebih parah dari Mas Dahlan. Mas Dahlan tergolong OTG (orang tanpa gejala). Tak terlihat sakit.
”Kamu dirawat di rumah sakit waktu itu? tanya dia lagi.
“Enggak Mas. Jangankan dirawat di RS, periksa aja aku tidak. Sebab aku yakin bisa sembuh dengan isolasi sendiri di rumah,” kataku.
Saya memang tidak melakukan pemeriksaan kesehatan. Baik rapid maupun swab test. Tapi saya tahu bahwa diriku terpapar Covid-19. Gejala-gejalanya sangat nyata saya alami.
Saya hanya isolasi mandiri di rumah selama 15 hari. Dan tidak menceritakan kepada istri saya, maupun keluarga dan siapa pun
Mereka tahunya saya lagi sakit terkulai di kamar. Saya hanya katakan, bahwa saya ‘nggreges’ (demam) terserang flu biasa.
Saya minta kepada istri agar tidur di kamar lain. Tidak sekamar dengan saya. Dan jangan mendekat kepada saya. Istri saya patuh, walau terlihat terheran-heran. Mengapa?
Saya memang sengaja menyembunyikannya, tidak mengaku kalau saya terserang Covid. Agar mereka semua tidak panik. Saya harus kuat, yakin bisa melaluinya dan sembuh.
Saya yakin saya memang lagi terpapar Covid-19. Karena, baik itu gejala, proses sakit yang saya alami, maupun sumber tertularnya sangat jelas. Saya tertular ketika menjenguk dan meraba kening keponakan saya yang lagi positif Covid-19 di kamar rumahnya. Dan saya membetulkan pipa oksigennya yang lepas.
Awalnya, keponakan saya (Nn) yang rumahnya di Desa Bukur, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, masuk RS dan opname karena sakit jantungnya kambuh. Pada awal bulan Desember 2020 lalu. Saat itu, ketika di-swab masih negatif.
Sepulang dari RS, dia selalu menanyakan saya. Minta saya menjenguknya. Karena selama ini Nn memang sangat dekat dengan saya. Menganggap saya sebagai ayahnya yang sudah meninggal.
Karena usiaku yang sudah di atas kepala 6 (usiaku sekarang sdh 63 th) sebenarnya aku dilarang menemuinya. Tapi aku nekat saja, dan masuk ke dalam kamarnya.
Aku lihat, keponakanku Nn itu sangat tersiksa. Nafasnya tersengal-sengal, dan selang oksiqen di hidungnya terlepas. Tidak mampu berkata apa-apa. Air matanya mengalir seakan ingin berkata kepadaku.
Melihat kondisi seperti itu, aku spontan menolongnya. Aku pasangkan kembali selang oksiqennya. Aku usap-usap kapalanya, sambil aku bisikkan. ”Sabar yaa lee, Nang. Istighfar yang banyak”, kataku.
Sesaat kemudian aku mohon diri pulang. Keluar kamar aku langsung basuh tangan dan muka dengan sabun di wastavel dapurnya. Didampingi istrinya yang kemudian diketahui juga positif Covid. Sesampainya di rumah, semua baju saya copot dan langsung mandi.
Sehari kemudian, di tubuhku sesuatu mulai terjadi. Gejala flu dan batuk mulai terasa. Aku mulai curiga, jangan-jangan mulai kena Covid. Hati mulai gelisah.
Sementara keponakanku Nn, di rumah hanya 2 hari. Lalu masuk RS lagi, tanggal 14 Desember 2020. Dan di ketahui sudah positif Covid.
Di rumah aku mulai merasakan batuk-batuk dan gatal di tenggorokan. Aku ingat saran dari orang-orang yang terserang Covid, agar mengolesi lidah dengan minyak kayu putih. Dan minum garam. Itu aku lakukan 3x sehari.
Namun belum ada perubahan, masih tetap aja batuk-batuk dan bersin. Dengan selalu memakai masker, saya tetap mengurung diri di kamar.
Waktu lebih banyak saya gunakan untuk berzikir, mendekat kepada Allah Sang Pencipta Segalanya.
Kemudian memasuki hari ke 5, tubuhku mulai terasa berat dan lemas. Bernafas pun mulai terasa berat. Tubuhku mulai terasa ‘nggreges’ demam. Namun aku tetap tidak memeriksakan diri ke dokter.
Dua hari kemudian, memasuki hari ke 8 dan 9, hidungku sudah tidak bisa merasakan bau. Dan tubuh tetap aja terasa ‘nggreges’ demam. Minyak kayu putih, garam dan minuman vitamin C terus aku minum.
Malam hari, demam tubuhku semakin menjadi. Aku benar-benar menggigil kedinginan. Tidak seperti biasanya. Setelah ditempeli termometer, ternyata tubuhku panas tinggi. Hingga 38,9 derajat Celcius
Aku mulai menyadari, bahwa aku benar-benar terserang Covid 19. Aku juga sadar, ini sudah cukup bahaya bagiku. Aku langsung bangun, keluar kamar. Mencari bawang putih 3 siung, dan aku parut lembut. Saya taruh di sendok, aku tambahi garam himalaya. Terus aku minum dengan satu gelas air putih.
Karena tidak terbiasa makan bawang, sesaat kemudian aku mual. Huuaaakk….huaakkk …. aku langsung muntah. Keluarlah parutan bawang putih tadi bercampur dengan dahak-dahak, banyak sekali yang menyumbat tenggorokanku.
Plong rasanya leherku, dan nafas sedikit mulai lega. Hidungku mulai bisa merasakan bau lagi. ”Alhamdulillaah”, pujiku. Aku bisa tidur malam itu.
Namun besoknya lagi, aku demam tinggi lagi. Dan tubuh masih terasa lemas, lunglai. Aku ulangi minum bawang lagi. Dan muntah lagi bersamaan dengan dahak-dahak. Tubuhku mulai terasa enak, dan nafas mulai lega.
Dzikirku tetap terus saja aku lakukan. Sebagai tempat bersandar dalam kehidupanku. Berangsur- angsur aku mulai merasakan peningkatan kesehatanku. Semakin baik dan baik, dan pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, aku sudah bisa bangun dan keluar rumah. Dan bisa beraktivitas kembali, bergabung sebagai Ta’mir Masjid.
Sementara keponakanku Nn, yang masuk RS lagi, dan dinyatakan positif Covid, menjalani perawatan. Seminggu kemudian akhirnya dia meninggal dunia. Innalillahi wainna illaihi rojiun. Semoga Allah mengampuni semua dosa-doaanya. Aamiin.
Alhamdulillah saya bisa sehat bergas kembali. Mudah-mudahan pengalaman saya ini membangkitkan semangat sesama ummat manusia. Covid-19 bisa diredam dengan obat tradisional berupa bawang putih dan garam himalaya. Disertai dzikir yang intensif dan sekuat-kuatnya. Alhamdulillah. (ruf/cow)