Sudah Vaksin, Beli Sayur di Depan Rumah Terpapar Covid-19

303

Kisah Errika, Guru SDK Swasta di Bekasi

Oleh: Mochamad Makruf *

Di era pandemi Covid-19 hati-hati kontak fisik dengan sembarang orang. Bila tidak ingin seperti Errika (49), warga Pondok Gede, Bekasi. Guru SDK swasta di Bekasi  ini hampir setiap hari di rumah karena  mengajar daring siswanya. Diduga hanya keluar rumah untuk membeli sayur, dia pun  terpapar Covid. Kini dia isolasi mandiri. Padahal dia sudah tuntas divaksin Sinovac pada akhir Maret 2021. Berikut kisahnya.

ERRIKA adalah  guru Matematika dengan pengantar  Bahasa Inggris. Dia adalah alumni IKIP Jakarta, FKIP Bahasa Inggris (English Department). Pengalamannya mengajar Bahasa Inggris tidak diragukan lagi. Dia mulai mengajar Bahasa Inggris sejak 1994, ketika mahasiswa. ”Saya mengajar sejak mahasiswa,” tegasnya.

Pada 1993, dia terpilih sebagai wakil dari DKI Jakarta untuk mengikuti pertukaran pemuda Indonesia-Australia atau Australia Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP) 1993. Program ini disponsori Australia Indonesia Institute (AII) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, RI. Saat itu, dia wakil pemuda DKI Jakarta bersama Fridiani.

Penulis kenal Errika. Karena kebetulan penulis wakil dari Jawa Timur pada AIYEP 1993. Jadi kami satu alumni di AIYEP-93. Ada WA grup anggotanya khusus Alumni AIYEP 93. Ada penulis, Errika, Fridiani,  Lusi (Palembang), Marnita (Jambi), Ida (Jawa Tengah), Salmawati ( Sulawesi Selatan), Reni (Lombok), Yahya (Sulawesi Selatan), Wawan (Jawa Barat kini di Melbourne), Firman (Wakil Sulawesi Selatan), John Meki Sawaki (Papua), Kamilius Tegun (Kaltim), Wayan (Bali), dan Aris (Yogyakarta) kini dosen sastra Inggris UGM.

Errika ketika studi banding sekolah TK SD dan SMP di Frankfurt, Jerman/foto/istimewa.

Dalam grup WA itu ada seorang teman Australia. Dia juga alumni AIYEP 93 wakil pemuda Australia. Namanya Edward Buckingham, asal Melbourne. Dia profesinya dosen dan jabatan akademiknya keren. Dia adalah Professor of Management and Director of Engagement at Monash Business School, Monash University, Melbourne, Australia. Dia yang bertanggung jawab pada Monash Bussiness School di Jakarta.

Kami, rekan-rekan alumni AIYEP 93,  terbiasa memanggilnya Edo. Panggilan yang sama ketika kami memanggilnya dan menjalani program di Indonesia yakni di Medan dan Galangsuka, Deli Serdang, Sumatra Utara.

Balik ke Errika. Errika juga pernah berkesempatan studi banding ke sekolah sekolah TK, SD, dan SMP di Frankfurt, Jerman pada 18 Februari sampai 21 Maret 2013. “Saat itu saya berkesempatan memperkenalkan Indonesia dan budayanya pada anak-anak sekolah tersebut. Itu juga pengalaman berharga selain AIYEP,” ujarnya.

Mendadak pada Jumat (2/7), dia  memposting pesannya di WAG (Whatsapp Group) “Sehat2 semua ya, teman-teman AIYEP ku tercinta. Aku juga lagi nyepi di kamar. Pejuang Covid-19. Hari ke-6,” tulisnya.

Tentu saja penulis dan teman-temannya lainnya kaget. Kami pun segera  mendoakan agar dia segera sembuh dan menyemangati agar berpikir yang positif-positif saja.

“Terus terang yang tahu gue Covid hanya sebatas keluarga besar dan teman-teman AIYEP ini. Jadi saya masih merahasiakan dari tetangga dan sekolah,’ ujarnya.

Bagaimana dia awalnya terpapar Covid? Errika menceritakannya.”Saya mulai mengajar online pada semestar dua, tahun ajaran 2020-2021.  Saya masuk sekolah tapi para siswa tetap berada di rumah masing-masing.  Kegiatan itu berakhir sampai 4 Juni 2021,” ujarnya.

Ketika mengajar online di di sekolah itu, dia berada di ruang kelas sendiri. “Tidak bercampur dengan orang lain. Saya mengajar mulai Senin sampai Kamis. Mulai pukul 07.00 sampai 12.30,” jelasnya.

Pada 7 sampai 15 Juni 2021, para siswa mengikuti PAT (Penilaian Akhir Tahun). Dia membuat soal-soal final test dan dikirimkan ke para siswannya kelas 3,4,5 dan 6 melalui aplikasi Edmodo. “Guru-guru bekerja dan memantau ujian anak-anak di rumah,” jelas Errika.

Pada  19 Juni 2021, lulusan atau graduation. “Hari itu, pagi,  saya ke sekolah menghadiri  graduation anak-anak. Sorenya, saya ke rumah orang tua. Dan, sampai hari ini, orang tua sehat-sehat saja. Di komplek rumah ku memang lockdown. Kami membatasi diri keluar rumah,”ungkapnya.

Setelah graduation, guru-guru kembali WFH (work from home). Rapat-rapat guru pun via zoom. Dan, Errika mengaku dua bulan belum ke supermarket. Itu karena dia membatasi diri tidak keluar rumah supaya tidak terpapar Covid. Namun, persediaan bahan pokok, sayuran dan ikan tentu berkurang. Ini menjadikan dia harus keluar rumah. ”Kamis (24/6), saya keluar rumah membeli pisang dan ikan pada tukang sayur keliling langganan di depan rumah,” ujarnya.

Errika ketika mengenalkan Indonesia dan budayanya kepada siswa SD di Frankfurt-Jerman/foto/istimewa.

Sebagian besar tukang sayur menurutnya asal-asalan memakai masker dan bahkan ada yang tidak memakai masker. “Kalau pun memakai masker biasanya maskernya lusuh. Saya sendiri menerapkan prokes ketat. Tapi bila orang lain dekat kita tidak prokes, ya kita juga bisa terpapar,” ujar Errika

Errika sebagai guru  juga sudah tuntas menjalani vaksin anti Covid. Dirinya vaksin Sinovac pertama pada pertengahan Maret.  “Saya vaksin bersama 4 guru dan 1 karyawan yang pernah terpapar Covid di Puskesmas Jatimakmur, Pondok Gede, Bekasi. Vaksinasi lancar. Saya kemudian vaksin kedua pada akhir Maret 2021,” ujarnya.

Menurutnya vaksin sangat berguna. ‘’Bila belum vaksin, akibatnya sangat buruk. Karena saya gemuk dan darah tinggi. Jadi segera lah vaksin,” jelasnya.

Meski sudah divaksin, dia dan keluarganya tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes) ketat. Dan, dia serta suaminya termasuk orang yang sangat hati-hati dan peduli terhadap kesehatan. Buktinya, dia ingat pada Juni 2020. Dia dan suaminya pernah hanya sehari PP Semarang-Jakarta ketika menjemput anak yang kuliah di UNDIP-Semarang.

”Kami terpaksa menjemputnya karena saya tidak mau anak saya naik transportasi umum. Di era pandemi Covid, bahaya naik kendaraan umum. Ketika keluar kota,

Kami diwanti jangan membuat  status atau apa pun yg memberi tanda kalau keluarganya ke luar kota. Kami dari rumah pukul 02.00. Dan tiba di kost anak di Semarang, pukul 7.30,” jelasnya

”Perjalanan kami ngebut. Kami hanya berhenti sekali di toilet dan dua kali isi BBM.

Tiba di kost anak, suami tidak turun mobil.  Aku saja yg naik ke kamar anakku, bantu packing dan beres-beres kamarnya,” ungkapnya.

Kebetulan  posisi Kampus UNDIP di Tembalang dekat pintu tol. Usai dari kos, mereka meluncur ke pintu tol. “Sekitar pukul  9.30,  kami sudah masuk tol untuk pulang ke Jakarta. Kami

berhenti istirahat di rest area utk makan siang :  nasi dan ayam goreng yg aku bawa dari Jakarta. Pokoknya semua sudah saya siapkan dari rumah.   Tanpa ke toilet dan tanpa buka pintu mobil. Paranoid Covid. Dan, kami tiba selamat di Jakarta pukul 15.30,” jelasnya

TERPAPAR COVID

Meski Errika sudah menerapkan prokes ketat dan paranoid terhadap Covid, namun takdir berkata lain. Tanpa disangka pada Sabtu (26/6) timbul gejala dia terpapar Covid. ” Saya merasa demam. Ngilu. Pusing kepala. Ada rasa mual dan muntah. Hidung tersumbat. Diare,” katanya.

Dia  terpapar Covid, diduga karena membeli sayur di depan rumah. Dia kurang hati-hati dan akhirnya terpapar Covid. ” Sejak 19 Juni, saya tidak ke mana-mana. Mungkin juga saya terpapar Covid dari pakaian suami yang WFO (work from office) pada 21 sampai 25 Juni 2021,” ujarnya.

Rabu (30/6), Errika langsung tes antigen untuk memastikan dirinya terpapar Covid atau tidak. Ternyata, hasil tes  positif. Kamis (1/7), dia menjalani  test PCR dan hasilnya positif. Pada hari ke-4, mulai hilang sebagian indra rasa dan bau. “ Wangi Downy Softener pun tak tercium.  Jadi rasa makanan tidak  sekomplit biasanya. Bau minyak kayu putih, minyak angin, gak ada sama sekali. Cuma pedes semriwing. Jadi, vaksinasi itu penting untuk mengurangi efek yg lebih buruk bila terpapar,” ujarnya.

Sejak dia positif, dia izin suaminya untuk isolasi mandiri di rumah. Dia menempati satu kamar tidur di rumahnya. “Komunikasi dengan suami dan anak-anak  menggunakan WA. Keluar kamar pun gantian. Jangan bersamaan,” ujarnya.

Suaminya juga terpapar. Dia juga harus isolasi mandiri. ”Suami juga menyempatkan berjemur di bawah terik matahari ketika pagi sampai jelang siang,” jelasnya.

Saat terpapar Covid, dia mengaku minum obat-obat standar pasien Covid seperti yang dirawat di RS Wisma Atlet, Jakarta. “Plus minum nutrisi dan vitamin-vitamin,” jelasnya.

Pada Sabtu (3/7) adalah hari ke-7. “Pagi hari, saya merasa sakit sekali Kayak yang buruk-buruk terbayang. Perasaan ini yang terburuk selama isolasi mandiri. Dan saya sampai menangis keras,” ujarnya.

Pada Minggu (4/7), adiknya mulai mencari tabung oxygen. ”Untuk jaga-jaga. Karena demam dan lain-lain sudah redah. Tapi aku mulai agak sesak nafas. Semoga, tidak terjadi apa-apa. Dan lancar saja,” katanya.

Errika juga berjemur di bawah matahari di lantai atas rumahnya selama 1 jam di area terbuka tapi tertutup di sekelilingnya. “Saya berjemur seperti di Pantai Bondy Beach, Sydney atau Gold Coast, Queensland. “Dengan pakaian terbuka seperti di pantai. Supaya matahari terkena kulit. Ini semua saya jalani agar sembuh dari Covid,” ujarnya.

Pada Selasa (6/7) dan Rabu (7/7), Errika minum obat cacing Ivermectin yang masih kontroversi. Obatnya sejenis tablet.” Meski obat di sini masih kontroversi, dia minum saja. Itu karena di luar negeri sudah banyak orang yang minum,”katanya. Bagaimana efeknya? “Yes. I feel so much better. Thanks God! Tapi saya juga minum obat-obat yang lain,” katanya.

Sampai berita ini ditulis, Errika masih menjalani isolasi mandiri. Semoga Tuhan Yang Maha Esa segera memberinya kesembuhan dan dia bisa beraktivitas kembali. (*)

* Wartawan Madya-PWI-Dewan Pers