Tertinggal Divaksin Covid-19

810

Kisah Wartawan Berburu Vaksin Covid-19

Oleh: Mochamad Makruf

SAYA sebenarnya malas divaksin Covid-19. Patah arang. Istri saya marah-marah. Mengapa saya tidak mau di-vaksin Covid-19? Bila tidak dipaksa, saya tetap tidak mau di-vaksin Covid-19. Saya kecewa.  Karena ketika di awal-awal saya berburu untuk di-vaksin Covid-19 karena saya memang wartawan, saya malah tidak terdata, tidak ada undangan, dan bahkan ditolak.

Mengapa? Ketika rekan-rekan pers di-vaksin Covid-19, tentu mereka senang bukan kepalang. Mereka upload foto-fotonya saat di-vaksin  di FB mereka masing-masing. Mereka tampak ceria karena ada sedikit kekebalan terhadap Covid-19.

Sebagian besar rekan pers Jawa Timur (Jatim) khususnya tinggal di Surabaya Raya saat itu di-vaksin di kantor Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Bahkan awak media dari majalah kampus pun dapat  jatah vaksin di situ. Hebat bukan.

Tapi kok saya belum dapat undangan di-vaksin Covid-19? ”Sialan!”,gerutu saya saat itu. Padahal saya betul-betul wartawan. Saya pemegang wartawan sertifikasi madya Dewan Pers dari organisasi PWI Jatim.

Dan lagi, saya juga dua kali memperoleh FJPP (Fellowship Jurnalisme Perubahan Prilaku) periode Oktober-Desember 2020 dan Mei-Desember 2021,  kerjasama Satgas Covid-19-Dewan Pers.

Bila webinar zoom pun terkadang dengan Kepala Satgas Covid saat itu, Doni Monardo. Tugas utamanya  meliput pemberantasan Covid di daerah masing-masing dan dimuat di media masing-masing dan di-link-kan di www.ubahlaku.co.id (media Satgas Covid-Dewan Pers). Oh, ya.. media saya www.pijaronline.net dan tulisan saya juga di-upload di www.cowasjp.com.

Wartawan yang memperoleh FJPP syarat utamanya adalah wartawan sertifikasi dan namanya terdaftar www.dewanpers.co.id dan klik wartawan sertifikasi. Tapi kok saya belum di-vaksin? Ironis bukan.

Ketika wartawan berkerumun untuk memperoleh giliran vaksin Covid-19 di Pemrov Jatim saat itu, saya juga tidak tahu. Saya baru tahu ketika perjalanan ke luar kota dan saat itu menyempatkan diri berkirim WA ke seorang rekan di sekteriat PWI Jatim.

“Kapan wartawan PWI Jatim di-vaksin?”, tanya saya waktu itu. ”Lho hari ini, ini anak-anak di sini semua. Pokoknya kamu datang ke Humas Pemprov Jatim,” ujar seorang staf sekretariat PWI Jatim, ‘Waduh saya tidak bisa ini perjalanan ke kota Mojokerto. Kok ada tidak ada woro-woro (pengumuman) sebelumnya,” kata saya.  Tidak ada jawaban.

Sebenarnya ada woro-woro, mungkin saya tidak masuk di grup WA PWI Jatim, padahal saya wartawan PWI Jatim dan bersertifikasi. Jadi saya saat itu tidak di-vaksin. Saya hanya ngedumel ini organisasi profesional tapi…gimana ya..

DATA BASE TIDAK UPGRADE

Ini yang saya sesalkan. Pengelolaan data base wartawan sertifikasi di organisasi PWI Jatim tidak upgrade. Seharusnya ada WA group wartawan sertifikasi Dewan Pers PWI Jatim, tapi faktanya tidak ada.  “Apa ada WAG wartawan sertifikasi Jatim,” tanya saya. ”Tidak ada,”jawab seorang pengurus PWI Jatim.

Bila ada informasi soal vaksinasi Covid-19,  kebijakan Dewan Pers dan PWI Pusat tinggal share di grup WA tersebut. Karena saat ini Dewan Pers lagi mengkampanyekan UKW (Uji Kompetensi Wartawan). Jadi dikatakan wartawan resmi bila wartawan itu bersertifikasi.

Mengapa saya bisa kancrit? Dalam mengundang wartawan yang ikut vaksin, PWI Jatim memakai sistem gelondongan atau by  name  of media.  Misalkan, undangan vaksin  Covid-19 di Pemprov Jatim, pada Senin media A, B dan C. Maka semua wartawan tiga media itu tiba di lokasi untuk mengikuti vaksin. Tentu saja sebagian besar wartawan tersebut belum sertifikasi. Mereka belum menempuh UKW yang disyaratkan Dewan Pers bila dikatakan sebagai wartawan resmi. Maka jatah vaksin Covid-19 itu pun habis untuk wartawan non sertifikasi.

Seharusnya PWI Jatim tetap konsen ke wartawan sertifikasi. Cari data wartawan sertifikasi yang tinggal di Surabaya Raya, lokasi Pemprov Jatim. Undang saja mereka by share WA via WA group. Simpel saja dan tujuan kampanye wartawan UKW pun tercapai.

Bila faktanya wartawan non sertifikasi lebih diutamakan, lha ngapain juga wartawan capek-capek ikuti UKW. Dan, para penguji UKW pun mengapa juga harus traveling hampir  seluruh provinsi di Indonesia untuk gelar UKW. Apa semua itu bukan pemborosan? Kampanye UKW getol tapi ironisnya implementasi kecil sesuai UKW saja melenceng.

Seharusnya ada pengumuman jelas seperti ini terkait soal vaksinasi Covid-19 untuk wartawan, misalkan Se-Surabaya Raya/foto/dewanpers.

DITOLAK VAKSIN COVID-19

Perjuangan saya memburu vaksin Covid tak kenal putus asa. Gagal vaksin di pemprov, saya mencoba mencari vaksin di tempat tinggal saya, Sidoarjo. Empat hari setelah pelaksanaan vaksin pemprov, saya memperoleh info ada vaksinasi Covid-19 untuk wartawan  di Sidoarjo. Saya memang tinggal di Sidoarjo.  Teman saya wartawan yang tinggal d Sidoarjo, menginformasikan dia sudah divaksin di hari pertama di Puskesmas Kota Sidoarjo.”Coba besok kamu hari kedua, masih ada vaksin. Siapa tahu dapat vaksin,” katanya.

Esoknya sekitar pukul 09.00, saya sudah tiba di Puskesmas Kota Sidoarjo. Saya bilang dari pers dan mau vaksin. Saya masuk ruang tunggu dan duduk di kursi yang jarak antar kursi lainnya satu meteran. Saya pede saya duduk di kursi itu. Saya  berharap dipanggil dan bilang dari media tunjukan kartu PWI, ID media dan ID Wartawan Madya-Dewan Pers, saya divaksin selesai.

Ternyata harapan saya di luar kenyataan. Setelah 30 menit menunggu, giliran saya menuju ke meja perawat yang menanyai pasien sebelum di-vaksin. Perawat tanya,”Bapak dari instansi mana?” “Saya dari media. Ini kartu PWI, ID media saya,” jawab saya. “Oh, maaf bapak. Bapak tidak ada jatah vaksin. Saat ini jatah PNS pemkab. Bapak koordinasi dulu saja dengan pihak Infokom Pemkab Sidoarjo,” katanya.

Saya pun ngeloyor pergi. Dari Puskesmas itu saya pergi kantor Dinas Infokom Sidoarjo. Diterima stafnya dan saya berikan data sebagai insan pers agar didaftarkan Vaksin Covid-19 berikutya.  Saya pun sempat WA kadis Infokom terkait masalah tersebut. Dan, dia mengiyakan saja. Sampai yang bersangkutan dimutasi juga tidak ada undangan vaksin Covid-19. Saya pun malas.

Pada Februari 2021, saya kembali memperoleh FJPP tahap kedua. Yakni mulai Mei sampai Desember 2021 dengan kewajiban mengirimkan 11 berita pemberantasan Covid-19. Dan, pada 9 April 2021, saya melalui Pijaronline.net meraih juara ketiga karya jurnalistik terbaik di Piala Prapanca 2021, PWI  Jawa Timur. Judul karya,” yang juara juga salah satu tugas di FJPP. Judulnya “Sehari 6 Jenazah, Harus Siap 24 Jam dan Tidur di Makam, Cerita Penggali Kubur Korban Covid-19 di TMU Delta Praloyo Asri, Sidoarjo.”

AYO VAKSIN COVID-19 MUMPUNG GRATIS

Saya akhirnya malas berburu vaksin Covid. Pokoknya saya harus tetap jalani protokol kesehatan dan hindari kerumunan.  Sampai akhirnya kesempatan untuk vaksin Covid-19 datang secara mendadak.

Berawal pada Rabu (2/6/21),  dua ipar saya (adik istri dan suaminya) sudah vaksin dulu di Klinik Layar Husada, Sukorejo No.59, Sidokepung, Buduran. Klinik tersebut dikelola dr Berlian Aniek Herlina, MPsi. Padahal ipar saya itu tinggal di Yos Sudarso, Kecamatan Kota Sidoarjo.  Dua ipar saya kategori usai lanjut 50 ke atas. Mudah saja memperoleh vaksin Covid tersebut.

Semula saya sempat ditawari ipar saya untuk vaksin di gelombang dia. Tapi saya menolaknya karena sibuk. Maka, ipar saya dan suaminya mengikuti vaksin Covid tersebut.

Karena adikya sudah divaksin, istri ingin sekali di-vaksin. Ipar saya menginfokan ada vaksi lagi pada Selasa (8/6/21) di klinik Layar Husada.

Sabtu (5/6/21), siang, ketika urusan kerja, saya ditelpon istri untuk cek dan menanyakan soal vaksin Covid-19 pada Selasa (8/6). Semula saya menolaknya karena malas di-vaksin. Takutnya ditolak karena usia saya pun belum kategori lanjut.

Istri pun marah. ”Pa, pokoknya kamu harus cek itu klinik. Kapan vaksin dan syaratnya apa? Kamu juga harus divaksin karena pekerjaan mu bertemu banyak orang,” kata istri. “Malas,ma,” jawab saya enteng.

Tak terima penolakan saya, istri menelpon saya terus. Sampai akhirnya, saya bersedia mengecek klinik dan tanya persyaratannya.  Saya pun meluncur ke Klinik Layar Husada, Sukorejo, Buduran.

Sekitar pukul 18.30, saya tiba di klinik. Ada seorang wanita muda dan ibu  di meja penerima tamu. ”Bu apa betul hari Selasa (8/6/21) ada vaksin Covid di klinik,” tanya saya.

“Bapak KTP mana dan usia berapa?” tanya ibu tadi. Saya KTP Sidoarjo dan usia masih di bawah 50 tahun. ”Tidak bisa pak. Yang bisa divaksin usia lanjut. Usia 50 kurang satu hari saja tidak bisa,” kata ibu tadi yang belakangan diketahui bernama dr Berlian–yang juga pengelola klinik.

Tapi kata Berlian, pihaknya membuat program. Yang bisa divaksian adalah dua usia lanjut bonus 1 usia muda. Bila ada anak muda  ingin divaksin Covid, maka dia harus membawa dua orang berusia lanjut, minimum 50 tahun. ”Bisa saja si anak membawa kedua orang tuanya beusia 50 tahun,” katanya.

Namun tidak cukup tiga orang (1 muda dan 2 lanjut) tapi totalnya harus 10 orang. Karena satu ampul vaksin Covid berisi 10 biji. Bila ampul sudah dibuka, maka harus secepatnya disuntikan ke penerima vaksin. ”Sampean harus bawa 10 orang ke klinik baru saya vaksin. Sepuluh itu bisa enam lanjut, tiga usia muda dan satunya lanjut,” katanya.

SUDAH TERDAFTAR  JATAH MEDIA

“Wah susah juga ya,” kata saya. ”Tapi omong-omong. saya wartawan bu. Bisa saja saya ada jatah,” tanya saya. Dokter Berlian sedikit terkejut. Karena, dia kenal banyak wartawan tapi tidak pernah bertemu saya. ”Oh, iya ta. Coba minta KTP-nya. Saya cek di sistem apa ada e ticket-nya (sudah terdaftar sebagai penerima vaksin prioritas),” kata Berlian.

Dia menyuruh staf untuk mengeceknya. ”Iya bu. Sudah terdaftar penerima vaksin dari media,” kata staf wanita muda. ”Ok pak. Berarti betul sampean dari media dan sudah jatah vaksin sendir,” katanya.

Lebih lanjut Berlian mengatakan, bila ingin divaksin pada Selasa (8/6/21), saya harus cari enam orang lagi untuk mencapai total 10 orang. “Anda, istri, mertua dan anak kan empat orang. Tambah siapa gitu 6 orang. Bisa tetangga yang usia lanjut,” katanya. ”Wah susah juga ya,” jawab saya singkat.

Berlian kemudian bercerita soal kenalannya yang wartawan. Dia menyebut beberapa wartawan Jawa Pos, Amik dan almarhum Arif Santosa dan eks Radar Surabaya, Rizki Daniarto,  kebetulan teman dekatsaya. “Yo saya kenal dokter. Saya ada WA-nya. Coba tanya apa kenal saya,” katanya.

Berlian ternyata lulusan FK Unair. Sedangkan Rizki lulusan Fisipol Unair. Keduanya berteman di IKA (Ikatan Alumni) Unair Sidoarjo.  IKA Unair Sidoarjo juga kerap  menggelar kegiatan bakti sosial.

Sebagai pengelola klinik kesehatan, dia juga harus partisipasi aktif mengurangi penyebaran Covid. Salah satunya Klinik Layar Husada miliknya diberi tanggung jawab oleh Dinas Kesehatan Sidoarjo untuk menggelar vaksin.Sudah ratusan warga ber-KTP Sidoarjo di-vaksin di kliniknya. “Saya pernah melakukan vaksin sendiri tuk 200 orang. Itu semua pekerjaan kemanusiaan. Saya tidak dibayar,” katanya.

Karena itu, dia menghimbau agar masyarakat usai lanjut harus aktif atau semangat bila diajak vaksin. Jangan ogah-ogahan. Ini mumpung vaksin gratis. Karena sebentar lagi kami akan disibukan dengan vaksin gotong royong yang berbayar. ”Pesertanya karyawan perusahaan. Dua kali vaksin tarif sekitar 1 juta. Yang bayar pihak perusahaan,” jelasnya.

Bila ada warga yang ingin vaksin di kliniknya, dua orang lanjut bonus 1 usia muda, atau tiga usai lanjut. “Ajak 10 orang. Datang ke klinik, nanti kami vaksin. Kami memakai vaksin Sinovac,” katanya.

Pada Selasa itu, kliniknya ada rencana mem-vaksin 200 orang. Jadi semua sudah terschedule. Dan, vaksin yang digunakan juga ada laporan detailnya. Kami juga di-push pihak Dinas Kesehatan untuk sebanyak mungki mem-vaksin warga.

“Dan, saat ini cari orang usia lanjut untuk di-vaksin juga sulit. Kendalanya antara lain banyak beredar berita berita hoaks soal vaksin yang macam-macam. Tapi kami fokus saja. Insya Allah vaksinasi lancar. Jadi bila ingin divaksin, silakan bawa 10 orang. Bisa semua lanjut atau dua lanjut dan satu usia muda. Berarti ada 6 usia lanjut 3 usia mudah dan tambah 1 lanjut,” jelasnya.

Saya kemudianpamit dan  segera mencari enam orang. Namun sekitar 10 menit meninggalkan klinik, dr Berlian menelepon. ”Malam ini siap divaksin,mas. Sampean, istri, mertua dan anak ke klinik ya malam ini,” katanya. ”Siap dokter.Tapi mertua tidak mau divaksin. Dan, anak masih ada di Jember karena kuliah,” kata saya.

”Gak apa-apa. Anda dengan istri saya segera ke klinik. Nanti saya akan cari orang-orang lain untuk genap 10 orang. Ini Selasa ada satu orang vaksin kedua minta diundur karena mau luar kota. Sehingga formasinya berubah. Jadi malam ini bisa 10 orang divaksin,” jelasya.

Saya bersemangat segera pulang ke rumah. Setibanya di rumah,  saya bercerita kepada istri dan segera mengajaknya ke klinik untuk vaksin. Tiba di klinik pukul 20.00, sudah berkumpul 8 orang yang akan divaksin. Mereka tengah mengisi data dan di-tensi satu per-satu. Saya dan istri pun kemudian ditensi.

Dokter berlian dengan memakai APD, lantas memulai vaksin orang satu per satu. Giliran istri dan kemudian saya. Ternyata saat disuntik vaksin, rasanya seperti kita suntik vaksin cacar di SD dulu. Celekit dikit dan selesai. Hanya membutuhkan waktu dua menit. ”Sudah dok?” tanya saja. “Sudah,” jawabnya. “Kok tidak terasa,” katanya.

Saya, istri dan 8 orang lainnya usai divaksin. Kami merasa senang. Kami kemudian diberi kartu vaksinasi Covid yang di belakangnya tertera jadwal vaksinasi kedua yakni pada 4 Juli 2021. Kami kemudian pamit pulang.

Sampai berita ini ditulis, saya dan istri tidak ada keluhan sama sekali. Vaksin Sinovac memang bagus. Tidak ada keluhan. Ya..biasa saja. Jadi tidak se-ngeri yang diberitakan hoax. Setelah vaksin ya biasa saja. Karena itu, saya sarankan segera vaksin Covid-19, mumpung gratis. Namun saya masih beruntung bisa di-vaksin. Masih banyak wartawan sertifikasi yang juga belum memperoleh vaksin. (*)

Wartawan Madya- Dewan Pers dan Peserta Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP), Dewan Pers-Satgas Covid