Dari Seminar Hukum Nasional 2022, Magister Hukum Unsuri-KRAN
Surabaya-Pijaronline-net-Para advokat di Jawa Timur sepakat mengajukan usulan ke pemerintah agar dibentuk Dewan Advokat Nasional (DAN) untuk mengatur kewenangan, keprofesian serta menjaga martabat dan wibawa Advokat di Indonesia.
Banyak masalah di profesi advokat. Di antaranya, saat ini total organisasi profesi advokat di Indonesia, 61 organisasi. Masing-masing memiliki kode etik profesi sendiri-sendiri. Bila ada advokat terkena sanksi di satu organisasi, dia akan meloncat ke organisasi lainnya.
Harusnya ada satu kode etik profesi dan sertifikasi advokat yang berlaku nasional. Itu semua bisa dikeluarkan bila ada DAN. Masalahya DAN tidak ada. Belum lagi, Undang UndangAdvokat Nomor 18 Tahun 2003 sampai saat ini belum ada PP-nya. Pemerintah pun sepertinya tidak serius memperhatikan profesi advokat.
Demikian hasil Seminar Hukum Nasional “Menuju Advokat Berkualitas, Berwibawa, dan Bermartabat secara hibrid di Aula Universitas Sunan Giri Surabaya (Unsuri), Brigjen Katamso II, Bandilan, Waru, Sidoarjo, Sabtu (20/8) pagi.
Seminar ini sendiri diprakarsai mahasiswa Magister Hukum Unsuri bekerjasama dengan Komite Reformasi Advokat Nasional (KRAN). Dan, diikuti sekitar 300 peserta secara daring dan luring. Mereka baik dari kalangan advokat juga dari mahasiswa Magister Hukum Unsuri.
Tiga pembicara hadir di seminar ini. Mereka adalah pembicara kesatu, Dr. Rohman Hakim, SH, MH, S.Sos,MM, Ketua Komite Reformasi Advokat Indonesia (KRAN) dan Ketua Umum Yuristen Legal Indonesia (YLI), pembicara kedua, perwakilan dari mahasiswa Magister Hukum Unsuri, KH, Fajruddin Fatwa dan pembicara ketiga, Dr. Tjoetjoe Sadjaja H, SH,MH, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Acara dibuka mulai pukul 08.00 dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya, Hymne Unsuri dan tari remo. Selanjutnya, acara sambutan Ketua Panitia, dr Yudi Heryantoro, MM dan Rektor Unsuri, H. Sudja’i, SH, MH, dan Ketua Yayasan Universitas Islam Unsuri, Drs, H.M Musyafak, MH.
Rektor menyampaikan terima kasih kepada pihak panitia, seminar ini bisa terlaksana. Semoga ke depan, apa yang dicitakan para peserta dalam seminar hukum nasional bisa terwujud. Setelah pembacaan doa, sesi penyerahan cinderamata dan foto bersama, baru memasuki acara inti yakni seminar yang dimoderatori oleh Prof, Dr, Sunarno Edi Wibowo, SH, MH.
Pembicara pertama, Rohman tampil. Materinya sangat menarik. Menurutnya, keberadaan profesi advokat dalam titik nadir. ”Saya katakan, hidup segan mati tidak mau. Posisi tawar advokat sangat lemah di mata para penegak hukum. Sehingga di lapangan ketika mendampingi klien, banyak advokat terkena masalah. Banyak advokat dikriminalisasi. Harusnya ini tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Ini semua pemicunya antara lain, pertama, tumpulnya hak imunitas advoka dan lemahnya perlindungan profesi advokat. Harusnya dalam menjalankan profesinya advokat dilindungi. Ini sesuai Pasal 16 UU Advokat isinya advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” Namun dalam praktiknya, profesi advokat se-akan akan direndahkan oleh aparat penegak hukum lainnya,” tegas Rohman.
Rohmah mencontohkan, pertama, penyidik polisi begitu mudah memanggil advokat untuk dimintaiketerangan tanpa terlebiih dulu mendapatkan izin dari dewan kehormatan
advokat masing – masing. Kedua, advokat diperlakukan tidak etis ketika mendatangi
kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk mendampingi klien. Alat komunikasi advokat yang merupakan alat kerja wajib ditaruh di loker. “Ketiga, advokat bila meminta hak berupa salinan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) klien dan dukumen yang lainnya, dipersulit oleh penyidik,” jelasnya.
Pihaknya iri dengan profesi wartawan, dokter, dan notaris. “Misalkan, wartawan dalam menjalan profesinya dilingdungi oleh UU No 40 Tahun 1999 melalui Dewan Pers. Bila ada wartawan terkena masalah hukum di lapangan, maka Dewan Pers akan turun untuk lakukan advokasi. Dewan Pers ada satu kode etik dan uji kompetensi wartawan yang berlaku nasional,” jelas Rohman.
Rohman juga menyatakan tidak ada standar kompetensi advokat yang baku. Antara lain waktu pendidikan dan magang tergantung organisasi profesi masing-masing. Sehingga belum ada jaminan profesionalisme kecuali sudah memiliki jam terbang lama.
Selama ini, wewenang organisasi advokat hanya berpatokan sesuai putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018, yakni melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat, pasal 2 ayat (1), melaksanakan pengujian calon advokat, pasal 3 ayat (1) huruf f, melaksanakan pengangkatan advokat, pasal 2 ayat (2), membuat kode etik, pasal 26 ayat (1), membentuk Dewan Kehormatan, Pasal 27 ayat (1), membentuk Komisi Pengawas, pasal 13 ayat (1), melakukan pengawasan Pasal 12 ayat (1), dan memberhentikan advokat, pasal 9 ayat (1).
Rohman juga menyoroti lemahnya sanksi etik advokat. Saat seorang advokat terkena sanksi etik oleh organisasinya, dia dengan mudahnya akan pindah ke organisasi advokat lain.
“Contoh kasus, Advokat Hotman Paris Hutapea dan Rasman Nasution telah dikenai sanksi tidak bisa beracara selama 3 bulan dan diberhentikan dari praktik pengacaranya. Namun, yang bersangkutan mengabaikan putusan tersebut dan loncat ke organisais advokat yang lain. Ironisnya, organisasi advokat baru mau menerimanya. Ini semua tidak salah. Itu, karena belum diatur regulasi dan kode etik bersama,” jelasnya.
Rohman juga menyoroti arogansi dan egosentris pimpinan OA. ”Masih banyak dijumpai tebang pilih terhadap anggotanya yang bermasalah. OA mudah memecat anggota dan juga mudah pula mengangkat anggota,” katanya.
Yang juga menarik dikemukakan Rohman adalah booming organisasi advokat. ”Saat ini tercatat kurang lebih ada sekitar 61 organisasi advokat di Indonesia. Terbanyak ada di Jawa Timur. Ini karena konstitusi menjamin adanya kran kebebasan berserikat dan berkumpul. Beda dengan Jepang. Ada 51 organisasi advokat. Namun, negara hadir yakni memiliki wadah etik advokat bersama dan standar kompetensi bersama dalam hal rekruitmen, pelatihan, pendidikan dan magang,” jelasnya.
Sebelum mengakhiri materinya, Rohman menyampaikan saran dan masukan. Antara lain bagaimana saat ini mencari solusi kongkrit untuk mengangkat merosotnya derajat profesi advokat Indonesia. Itu semua bisa dilakukan bila ada DAN. Maka, segera deklarasikan pembentukan DAN sebagai rumah etik
bersama para advokat indonesia.
Kedua, melakukan kerja sama dengan Pemerintah , Dewan Perwakilan Rakyat dan
para penegah hukum yang lainnya. Misalkan ada MOU dengan Polri yakni Polri sepakat tidak ada menerima laporan polisi bila terait pelanggaran kode etik advokat. Polri harus mendapatkan rekomendasi dari dewan kehormatan etik.
Sementara itu, pembicara, Tjoetjoe sependapat dengan Rohmah perlu dibentuk atau diusulkan ke pemerintah untuk dibentuk DAN. ”Kewenangan DAN nanti menentukan standar ujian advokat baik online maupun offline, simulasi sistem peradilan. Banyak advokat jadi tergugat karena tidak diajari simulasi peradilan saat rekrutmen. Ada wawancara saat rekrutmen advokat, supaya tahu emosi psikologis, latar belakang sosial calon advokat. Nanti advokat yang ideal bagaimana bisa terwujud,” ujarnya.
Orang yang duduk di DAN nanti bisa jadi sembilan komisioner. “Komisioner bisa jadi akademisi, praktisi, dan negara. Pendanaan bisa jadi dari negara. Tapi bila negara tak ada dana, indipenden ok saja,” katanya.
Pendirian DAN ini urgent. Agar profesi advokat bisa berkualitas, berwibawa dan bermartabat. Sehingga tidak ada lagi kriminalisasi advokat. ”Bila ada advokat yang dikriminalisasi, saya selalu menjadi saksi ahli yang meringankan. Sehingga advokat selalu menang di pengadilan,” ujarnya.
Sekitar pukul 13.00, seminar hukum nasional ini berakhir. Sebelumnya penutupan, ada penandatangan pakta intergritas 15 organisasi advokat untuk selalu memegang marwah dan amanat advokat yang selalu memperjuangkan keadilan dengan ahlakul karimah.(ruf)