Refleksi Hari Pers Nasional ke-75
PADA 9 Februari 2021, diperingati Hari Pers Nasional (HPN) ke-75. Usia ke-75 tahun adalah usia matang. Profesional; anti suap dan fokus pada peliputan berita. Profesioal juga bisa disebut pakar. Itu karena sudah menjalani 10.000 jam terbang.
Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers: The Story of Success (2008), seseorang disebut pakar bila menekuni bidangnya setelah menempuh 10.000 jam. Mereka orang-orang yang sukses karena waktunya tepat dan terus berlatih sampai 10.000 jam kerja
The Beatles—bisa sukses sebelumnya harus bermain 8 jam per hari dimulai Hamburg bar sebelum mereka meraih ketenaran. Bill Gates harus menyelinap di kampus dekat rumahnya untuk menyalurkan hobi berkomputer ria. Harus fokus bisa tembus.
Tapi bagaimana kondisi pers di Indonesia saat ini? Apa sudah profesional? Mungkin hanya majalah Tempo saja yang populer ke permukaan, berani menyajikan tulisan investigative tajam mengkritik kebijakan pemerintah.
Dan, hanya tayangan ILC (Indonesia Lawyer Club) Bang Karni Ilyas di TVOne yang juga vokal menyuarakan suara kaum marginal. Namun tayangan ini akhirnya cuti panjang setelah tayangan terakhir “Renungan Akhir Tahun; Dampak Tekanan Ekonomi, Ibu Bunuh Anak, Suami Bakar Istri” pada Selasa (15/12/20).
Kebebasan pers di Indonesia saat ini bisa dikatakan “terancam” sejak disahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Didasarkan paparan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network, seperti dikutip dari www.dslalawfirm.com beberapa persoalan terhadap UU ITE adalah Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE dalam bab Kejahatan Siber, dan juga Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40, dan Pasal 45.
Persoalan yang terdapat di antaranya adalah mengenai penafsiran hukum, dimana rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut tidak ketat (karet) dan tidak tepat serta menimbulkan ketidakpastian hukum (multitafsir).
Selain itu, pada penerapannya, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum di lapangan. Yang terakhir adalah dampak sosial yang ditimbulkan, di mana pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan konsekuensi negatif seperti ajang balas dendam, barter kasus, serta menjadi alat shock therapy dan memberi chilling effect.
Undang-Undang ITE lah juga kini “ditakuti” wartawan (belum memiliki kartu UKW). Karena, bila kurangnya pemahaman aparat penegak hukum di lapangan, wartawan karena tulisannya bisa di-sel menggunakan UU ITE.
Tengok saja berita Bupati Enrekang melaporkan seorang wartawan media online, Wawan ke Polres Enrekang karena mencemarkan nama baiknya. Si wartawan pun ditangkap pada 7 Februari 2021.
KEBEBASAN PRESS URUTAN KE-199
Karena itu, dalam World Press Freedom Index 2020 yang direlease oleh Reporters Without Borders (www.rsf.org) menempatkan Indonesia di urutan ke-119 dari 180 negara dengan score 36,82.
Kedudukan Indonesia ini lebih baik dibanding tahun 2019 yakni di urutan ke-124 dan 2013 yakni di 139.
Kedudukan Indonesia ini juga lebih baik dari Singapura yang menempati urutan ke-158, dengan nilai 55.23 dan Thailand di urutan ke-140. Namun Indonesia kalah dengan Malaysia diurutan ke-101.
Mengapa Indonesia urutan ke-119? Menurut RWB, di antaranya banyak organisasi keagamaan mengancam kebebasan pers karena bisa dijerat undang-undang anti penghujatan agama dan terbitnya UU ITE No 19 tahun 2016. Maka pers melakukan sensor sendiri.
“Religious groups also threaten the media’s right to inform. Many journalists say they censor themselves because of the threat from an anti-blasphemy law and the Law on “Informasi dan Transaksi Elektronik” (Electronic and Information Transactions Law)”.
RWB merelease World Press Freedom Index setiap tahun sejak 2002. Index didasarkan dari hasil survey organisasi organisasi wartawan yang menjadi rekanan RWB, termasuk di dalamnya ada peneliti dan aktivis HAM.
Survey RWB ini berisi pertanyaan-pertanyaan antara lain apakah ada serangan langsung kepada para reporter atau perusahaan media atau serangan tidak langsung seperti intimidasi dari organisasi non pemerintah.
Pada 2020, ada 10 besar negara yang kehidupan pressnya sangat bebas yakni urutan pertama Norway, selanjutnya Finland, Denmark, Sweden, Netherlands, Jamaica, Costa Rica, Switzerland, New Zealand and Portugal.
Sebaliknya 10 negara yang kebebasan press nya sangat rendah yakni Korea Utara, Turkmenistan, Eritrea, China, Djibouti, Vietnam, Syria, Iran, Laos, Cuba and Saudi Arabia.
UKW CEGAH KRIMINALISASI WARTAWAN
Antisipasi kriminalisasi wartawan oleh aparat hukum pemerintah maka hadirlah Dewan Pers. Lembaga negara yang mengatur dan bertanggung jawab atas kegiatan jurnalistik di Indonesia.
Karena itu Dewan Pers menginstruksikan para wartawan harus mengikuti UKW (Uji Kompetensi Wartawan) dan memiliki kartu UKW.
Dengan memiliki kartu UKW, Dewan Pers akan melakukan advokasi kepada wartawan bila terjadi permasalahan hukum dengan narasumber. Dewan pers akan mengarahkan kepada aparat penegak hukum (yang tidak paham di lapangan) untuk menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” kata Ketua Umum PWI, Atal S Depari beberapa waktu lalu di Kantor PWI Jawa Timur.
Undang-Undang Pers yang disahkan ketika era Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999 ini mengandung 10 bab dan 21 pasal.Bab dan pasal tersebut berisi aturan dan ketentuan tentang pembredelan, penyensoran, asas, fungsi, hak dan kewajiban perusahaan pers, hak-hak wartawan, juga tentang Dewan Pers.
Dalam Undang-Undang Pers juga disebutkan bahwa subjek dan objek jurnalistik di Indonesia memiliki tiga keistimewaan hak, yakni Hak Tolak, Hak Jawab, dan Hak Koreksi.Ketiga hak tersebut juga telah diatur dalam Kode etik jurnalistik Indonesia.
Ternyata faktanya belum semua wartawan memiliki kartu UKW. Mengapa? UKW ini materinya bisa dikatakan sulit. Dipastikan wartawan abal-abal tidak lolos dalam uji ini. Karena materinya terkait keseharian aktivitas wartawan.
Salah satu materi ujiannya jejaring narasumber. Wartawan diminta penguji menyerahkan 20 nomor telepon narasumber. Penguji memilihnya acak dan si wartawan menyuruh menelepon.
Ketika si wartawan usai menelepon, giliran si penguji menelpon narasumber. “Maaf, pak, apakah wartawan ini pernah memeras atau minta uang kepada Anda?” kata si penguji. Bila si wartawan pekerjannya hanya memburu amplopan, ya tentu saja gagal.
WARTAWAN MENJAMUR,KUALITAS TURUN?
Sejak era reformasi, pemerintah membuka kran lebar-lebar kebebasan pers. wartawan dan perusahaan pers bermunculan bak jamur di musim penghujan. Dan, sangat lah mudah menjadi wartawan.
Hanya lulusan SMA atau SMP berbekal kartu pers buatan sendiri bisa menjadi wartawan. Keliling dari desa ke desa atau sekolah-sekolah. Mengaku, “Saya wartawan!” Maka si narasumber yang didatangi pun ketakutan dan ujungnya memberikan amplopan.
Itu disebut wartawan abal-abal (warbal) dan tentu saja ini mencemarkan profesi wartawan asli yang pekerjaan fokus mencari berita. Warbal ini tentunya saja tidak memiliki kartu UKW.
Penulis sering dimintai saran oleh rekan kepala sekolah bagaimana antsipasi warbal. Klik saja di web dewan pers, www.dewanpers.or.id dan pilih sertifikasi wartawan. Ketik nama wartawan yang dimaksud dan search. Bila namanya tidak muncul, wartawan yang bersangkutan belum UKW atau bisa jad warbal.
Beda di era penulis di tahun 1997. Jadi wartawan sangat sulit. Saat itu penulis mengikuti rekruitmen wartawan Jawa Pos dan seleksinya super ketat. Standar minimal pendidikan S1 dengan IP, 3,3 (ilmu sosial) ada tes menerjemahkan berita Engslih ke Indonesia, menulis berita short news dan feature, bukti tulisan yang dimuat di koran, wawancara Engslih serta tes psikologi oleh seorang psikolog ternama. Penulis diterima bersama 9 orang lainnya setelah menyisihkan sekitar 300 peserta.
Mengapa wartawan minimal harus sarjana? Tugas pokok wartawan adalah mencerdaskan bangsa atau pembaca. Bila pendidikan wartawan di bawah standar, ini malah jadi pembodohan pembaca.
Seharusnya peserta UKW salah satu syaratnya adalah pendidikan minimal S1. Namun ini tidak dicantumkan. Padahal tujuannya menjadikan pembaca cerdas.
Apa beda wartawan asli dan abal-abal? Bedanya di atribut. Wartawan abal-abal sangat-sangat menonjolkan identitasnya sebagai wartawan atau pers. Kemeja, jaket, topi, tas ditulisi pers, motor dan mobil ditempeli pers. Semuanya serba ditempeli pers.
Beda dengan wartawan asli. Mereka cenderung menyembunyikan atributnya sebagai wartawan. Tugas mereka seperti reserse atau intel. Menyelinap, investigasi, dan pokoknya menggali informasi atau berita sebanyak-banyaknya.
Di lapangan pun intel atau reserse malahan saling tukar informasi. Si intel minta notes wartawan supaya dianggap wartawan. Dan, wartawan asli baru memakai atribut pers jelas ketika meliput unjuk rasa supaya tidak terkena pukulan aparat.
Idealisme wartawan juga turun saat ini. Itu semua karena kebutuhan, uang. Media online dan cetak jumlahnya berjibun. Begitu juga wartawan. Kompetisi pun ketat. Iklan berkurang. Rezeki pun berkurang. Maka yang diburu berita yang beriklan. Idealisme pun turun. Dibanding menggali berita secara investigative, lebih baik memburu berita jumpa pers yang beruang.
Wartawan seharusya mengambil sikap oposisi. Siap mengkritisi kebijakan pemerintah bila dirasa merugikan rakyat. Namun sebaliknya bila wartawan menjadi corong pemerintah, maka fungsi kontrolnya hilang.
Karena pers adalah pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR/Parlemen), dan yudikatif (lembaga hukum). Bila pilar ke-4 fungsi kontrolnya tumpul, maka rusak lah negeri.
Pers seharusnya memposisikan diri di luar pemerintahan. Bebas mengkritik kebijakan pemerintahan dirasa tidak benar. Bukan sebaliknya.
Penulis tidak tahu mengapa saat ini ada kecendurungan banyak petinggi pers lebih suka mengunjungi atau berfoto dengan para pejabat tinggi. Ini menggelikan. Seharusnya ini tidak terjadi bila mengambil sikap oposisi. Bertemu pejabat boleh asalkan bertujuan konfirmasi berita yang akan ditulisnya.
Suatu daerah bila kepala daerah baik itu bupati, walikota atau pun guberbur terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK itu berarti tidak ada kontrol press di daerah tersebut. Persnya tumpul.
Coba lakukan riset. Cari berita di google selama dua atau tiga tahun sebelum pemimpin daerah tersebut terjaring OTT KPK terkait pemberitaan pemberitaan di daerah tersebut. Apakah ada berita yang mengkritik kinerja bupati atau walikota? Dipastikan tidak ada.
PERLU PULITZER PRIZE ALA INDONESIA
Kompetisi penulisan wartawan secara nasional seharusnya dimunculkan lagi. Pengusaha pers ternama sebagai pendonor dana bekerjasama dengan Universitas ternama. Munculkan Pulitzer ala Indonesia. Meski saat ini sudah ada gelaran Piala Prapanca oleh PWI. Ini semua untuk menggiatkan pers yang kritis dan bertanggung jawab.
Pulitzer Prize adalah suatu penghargaan tertinggi untuk menghargai karya seseorang di koran, majalah baik offline dan online, sastra dan komposisi music di Amerika Serikat. Warga di luar Amerika bisa mengikuti penghargaan ini asalkan karyanya terbit atau dimuat di Amerika.
Pulitzer Prize kali pertama diberikan pada 1917. Nama Pulitzer diambil dari nama pengusaha koran ternama Joseph Pulitzer dan menyerahkan pelaksanaanya kepada School of Journalism, Columbia University.
Penghargaan ini diberikan setiap tahun untuk 21 kategori karya. Untuk 20 kategori setiap pemenang memperoleh sertifikat dan uang tunai US$15,000 cash award (ini sudah ada kenaikan karena sebelumnya $10,000 pada 2017). Sedangkanm satu pemenang kategori pelayanan publik memperoleh medali emas bergambar Joseph Pulitzer yang didesain ole Daniel Chester French pada 2017.
Joseph Pulitzer yang meninggal pada 1911 sempat menulis surat wasiat membuat penghargaan bagi penggiat demokrasi. Josep adalah yang membuat koran bisa semua orang. Sebelumnya koran atau informasi hanya untuk orang kaya dan orang miskin tidak perlu. Namun setelah ada Joseph, visinya untuk demokrasi tetap hidup orang miskin harus bisa mengakses informasi melalui koran.
Untuk bisa mengikuti penghargaan ini peserta harus membayar biaya pendaftaan US $75. Dan, setiap tahun 2500 karya peserta masuk dan diseleksi oleh 102 juri. Satu piala untuk masing-masing 21 kategori. Pemenang kurang dari 1 persen bila peserta 2500. Pada 1991-2012, hanya 27 persen pemenangnya adalah wanita.
Namun tidak ada gading yang tak retak. Pulitzer Prize pernah membatalkan penghargaannya kepada Alex Haley, dengan karya literasi buku berjudo Roots. Dia dituduh plagiarism pada 1977 dan kasusnya diputus 1978.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan berharap kebebasan dan individu pers ke depan di Indonesia bisa lebih baik.(Mochamad Makruf*)
* Wartawan Madya PWI-Dewan Pers dan Pengelola www.pijaronline.net .