Piknik Tipis-Tipis ke Objek Wisata Tapal Kuda di PPKM Level 1
Oleh: Mochamad Makruf
Pada 28 September 2021, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengumumkan ada 28 daerah di Jatim masuk Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1. Tiga di antaranya Situbondo, Banyuwangi, dan Jember. Minggu (26/9), saya sekeluarga piknik tipis-tipis di kawasan tapal kuda, Situbondo, Banyuwangi , dan Jember. Bagaimana penerapan protokol kesehatan (Prokes) dan pengunjung di objek wisata tersebut? Berikut laporannya.
SAYA sekeluarga melakukan perjalanan tujuan awalnya ke Jember saja. Itu karena pada 16 September 2021, anak pertama saya, Valiant Alfrizy sudah menyelesaikan kuliahnya S1 di Fakultas Hukum, Universitas Jember. Dengan predikat lulus sangat memuaskan. Kami berencana ambil barang-barangnya di kos Jember untuk diboyong ke Sidoarjo.
Anak lanang nantinya tinggal menunggu wisuda daring pada gelombang kedua di rumah pada November 2021. Dan, yang terpenting, barang-barang kosnya harus segera dibawa balik ke Sidoarjo sebelum memasuki Oktober. Bila masuk Oktober tentu akan ditarik uang kos.
Tapi entah kenapa di tengah perjalanan, tujuan perjalanan kami berubah. Tidak ke Jember dulu, tapi harus mampir ke Situbondo dan Banyuwangi.
Minggu, sekitar pukul 06.00, kami meninggalkan kota Sidoarjo dengan mobil Nissan Xtrail. Perjalanan tol lancar awalnya. Tapi jelang keluar Bangil, ada perbaikan jalan di sisi kiri jalan. Arus kendaraan masih sepi. Tidak begitu menghambat.
Kendaraan melaju terus. Namun jelang pintu keluar Probolinggo arah ke Bromo, istri minta mampir ke pantai dulu yg ada pada PP (Photo Profile) WA Valiant. “Pantai mana itu Co (Coco panggilan akrab Valiant) di PP WA mu,” tanya istri, Luluk. “Itu Pantai Kampung Kerapu, ma. Di Situbondo,” jawab Valiant. “Kita ke Pantai Kerapu saja,” kata istri.
Mobil pun melaju tidak ke arah Lumajang tapi lurus ke utara di Jalan Raya Probolinggo. Setibanya di pertigaan dan trafic light, mobil belok kanan dan langsung meluncur ke arah Situbondo.
Arus lalu lintas lancar. Meski jalan yang satu jalur dijadikan dua arus balok- balik itu, didominasi truk-truk besar. Mobil yang disopiri Valiant harus lihat kanan dulu mencari sela untuk menyalip kendaraan di depan. It’s so tricky.
Terkadang mobil harus zig-zag untuk mendahului tiga kendaraan di depan. Saya akui anak lanang ini kategori lihai untuk mengemudi si Xtrail. Karena mobil ini pun kali pertama disetiri ketika belajar mengendarai mobil.
Mobil melaju kecepatan rata rata 80 ke 100 km. Yang merepotkan bila ada pengendara motor melaju di tengah jalan. Mereka tidak mau mengalah. Valiant pun tidak membunyikan klakson. Dia belok dikit dan melaluinya.
Sekitar pukul 08.00, mobil tiba di Paiton. Saat melintasi kawasan PLTU Paiton, jalan mulus. Mobil tancap terus. Udara hari itu cukup panas. Cek suhu udara di android, 38 derajat celcius. It’s hot today. Hadew, AC mobil kurang maksimal sepertinya. Udara di luar panas, tapi udara di dalam mobil tidak nyess..dingin. Kepalang mundur. Lanjut terus saja.
Sekitar pukul 08.45,mobil melintas di objek wisata Pantai Pasir Putih yang pantainya tidak putih. Sekilas pengunjung objek wisata ini ramai. Dari luar terlihat mobil mobil terparkir di areal parkir dalam. Tapi ramai tidak kategori membludak. Lumayan. Tapi tujuan kami tidak ke situ, tapi Pantai Kampung Kerapu.
Pantai Kampung Kerapu ini tergolong objek wisata baru. Wisata ini tidak setua seperti Pantai Pasir Putih. Saya baru dengar nama itu. Valiant tahu wisata ini dari teman-teman gang kuliahnya.
Memang ketika kuliah di Jember, dia dan gang kuliahnya kerap kali piknik naik motor. Jangkuan jelajahnya cukup jauh. Mereka pernah ke Bromo, Taman Nasional Baluran, Kebun Teh, Jatiroto, De Jawatan, Banyuwangi, dan Pantai Kampung Kerapu, Situbondo.
Sekitar pukul 09.00, kami tiba di Kampung Kerapu—yang lokasinya di sisi kiri (dari Surabaya) Jalan Raya Klatak, jalur utama Surabaya-Banyuwangi (jalur pantura). Parkiran mobil ada di seberang lokasi wisata.
Pagi itu, kondisi parkiran mobil sepi. Hanya ada dua mobil yang terparkir termasuk mobil saya. Tiket parkir mobil 5000. Turun mobil, kami antas diseberangkan tukar parkir ke lokasi. Tertera di tiket masuk Kampung Kerapu, Rp 5.500. Empat orang bayar Rp. 22.000.
Desain loket masuk cukup modern. Poster berisi kampanye protokol kesehatan terpampang di sebelah loket. Ada wastafel untuk cuci tangan tak jauh dari loket. Penerapan prokesnya lumayan.
Hanya saja pengunjung sepi. Di pelataran wisata ini sebelum masuk ke kawasan pantai ada meja dan kursi kayu panjang. Total 10 set dan tertata rapi seperti caffee. Di atas meja-meja ada lampu-lampu bergelantungan. Bila malam, saya yakin suasananya bagus.
Memasuki kawasan pantai—ada jembatan kayu memanjang memasuki pantai. Jembatan kayu ditopang dengan kaki-kaki beton. Objek wisata ini terkesan modern juga pengelolaannya. Bisa jadi pengelolanya anak muda. Modern Taste.
Suasana ini sangat berbeda dengan wisata Pantai Pasir Putih Situbondo yang masih terkesan old fashioned. Bila kita berfoto di dalam objek wisata Kerapu ini, hasil foto sepertinya kita berada di luar negeri. Kesan saya seperti itu. Entah kesan Anda.
Jembatan kayu itu dari bibir pantai masuk ke tengah 200 meter kemudian memutar lagi menuju ke arah pintu masuk. Ibaratnya kita berjalan di atas pantai—tanpa harus berbasa-basah. Kalau toh, pengunjung ingin berbasah-basah kaki, ada tangga turun dari jembatan.
Sekitar 100 meter pertama di jembatan lingkar itu ada booth. Ternyata itu loket penjualan banana booth. Pengunjung beli tiket dulu dan masuk booth dan turun ke lantai—yang di atasnya ada jembatan ponton seperti balok-balok gambus. Kita bisa jalan di atas jembatan ponton gabus cukup jauh ke barat atau ke utara. Tapi saat itu kami tidak turun. Hanya melintas booth.
Kami foto-foto di objek wisata ini sekitar satu jam. Kondisinya sepi. Masih ada dua atau tiga kelompok keluarga terlihat lalu lalang menikmati wisata ini. Mereka juga mengenakan masker.
Takut kemalaman, kami segera mengakhiri kunjungan di lokasi wisata ini. Kami lantas meluncur ke Kota Situbondo. dengan kecepatan 60 sampai 90 kilometer per jam. Dan, udara siang itu begitu panas.
Memasuki kota Situbondo, kami sempat mampir di Warung Nasi Pecel Khas Banyuwangi, Mbak Tutik. Saya lihat tiga mobil parkir di depannya. Ini pasti enak. Ternyata dugaan saya betul. Masakan khas pecelnya yummy sekali. Kami lahap memakannya. Itu karena kami memang belum makan pagi. Warung nasi pecel ini recommended.
Kami melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 11.00, kami memasuki kawasan Hutan Baluran. Jalan mulus dan kanan kirinya hutan. Mobil melaju lancar. Namun sebelum memasuki hutan ini, mobil sempat isi pertamax 100 ribu karena pertalite kosong.
Cukup lama juga melintasi Baluran. Sekitar 1 jam-an. Hutan ini memang pusat latihan Marinir. Ada papan namanya. Terkadang perjalanan terhambat gara-gara ada pohon tumbang. Tapi hanya sebentar saja.
Sekitar pukul 12.00, kami memasuki Banyuwangi. Disambut, patung penari Gandrung di Watu Dodol. Tak jauh dari sini ada pantai Watu Dodol. Cukup ramai juga. Tapi kami hanya melintas saja. Di pantai Watu Dodol, kita bisa melihat Pulau Bali di seberang dengan pantai pasir putihnya.
Kami juga melintasi terminal penyeberangan Ketapang-Gilimanuk. Banyak mobil-mobil pribadi plat B terparkir di luar terminal menunggu jadwal penyeberangan atau hanya sekedar beli tiket online dan tes rapid antigen. Di PPKM level 1, bisnis wisata mulai menggeliat sepertinya.
Kami terus menuju ke Pantai Boom, Marina. Kami terkesan dengan foto-foto spotnya setelah melihat IG-nya. Salah satunya—foto di jembatan. Kunjungan ke situ, rencananya pendek saja. Hanya taking picture in one spot photo and off. Hanya foto langsung cabut.
Kami memasuki kota dan Alun-Alun Banyuwangi belok kiri dan lurus sedikit belok ke kanan sekitar 200 meter sudah memasuki pantai Boom. Masuk loket hanya bayar 5.000 per orang. Pelayanan bagus.
Dua petugas penjaga loket berbeda juga sudah terapkan prokes. Mereka mengenakan masker dan men-thermo gun sebelum memasuki areal wisata. ‘’Pak, foto spot di Terminal Boom di mana?” tanya saya. ‘’Yang jembatan belok kanan dan gudang itu kelihatan lurus saja,” jawab petugas loket
Setelah membayar tiket masuk, mobil melaju ke tempat parkir. Dan, pandangan mata langsung tertuju ke jembatan. ‘’Kok jembatannyseperti itu,” kata istri. Jembatan itu yang jadi foto spot favorit para wisatawan. Kami pun menuju ke jembatan.
Dan, setelah melintas memasukinya dan istri saya foto,hasilnya amazing sekali. Bagus. Kok cerdas si arsitektur jembatan dan digunakan untuk foto spot sangat bagus sekali. Mulai lah kami berfoto-foto. Saya lihat para pengunjung lain juga mulai berfoto-foto ria.
Ada seorang petugas wisata naik motor melintas. ‘’Masuk saja. Di sana lebih banyak lagi (foto spot),” kata petugas. Tapi kami sepertinya terhipnotis berfoto-foto di jembatan. Setelah puas, kami berniat berfoto di depan gudang. Jarak jembatan ke gudang 300 meter. Istri enggan karena kecapekan.
Pengunjung wisata tidak ramai. Hanya ada lima mobil. Tapi para pengunjung juga mengalir. Implementasi prokes juga bagus. Mereka juga mengenakan masker.
Kami kemudian meninggalkan objek wisata ini. Kami harus segera ke Hutan De Djawatan di Benculuk, Banyuwangi. Kami masuk kota lagi dan menuju ke arah jurusan Banyuwangi ke Jember. Arus ramai tapi lancar. Aktivitas ekonomi mulai menggeliat. Terlihat pasar-pasar tepi jalan sudah beraktivitas normal.
Sekitar pukul 15.00, kami tiba di Hutan De Djawatan. Kami membayar tarif masuk 6.500 per orang. Petugas menerapkan prokes. Mereka bermasker dan men-thermo gun kami. Banner kampanye terapkan prokes terpampang sisi kanan lokasi parkir mobil. Tidak jauh dari pintu masuk. Istri dan anak kedua Sylvia langsung minta difoto di depan papan nama De Djawatan.
Kalau dibilang taman pohon trembesi tua lebih tepat. Karena yang menarik pohon pohon trembesi berusia ratusan tahun mendominasinya. Pohonnya besar-besar. Saking lamanya, ada akar-akar menjuntai.
Yang menarik di sini juga ada rumah pohon. Seperti gubuk terbuka ukuran 2 x 3 meter berada di dahan bercabang satu pohon trembesi. Ketinggian dari tanah 8 meter. Rumah pohon salah satu tempat foto spot terfavorit pengunjung. Tapi saat itu, kami tidak bisa berfoto spot di situ. Karena lokasinya dibuat shooting sinetron dari rumah produksi Jakarta. Crew banyak sekali.
Dari referensi, De Djawatan sendiri artinya instansi. Lokasi hutan ini milik Perhutani yang dulu disebut Djawatan Perhutani. Jalan masuk ke Djawatan itu milik PT KAI yang dulu juga disebut Djawatan KAI. Karena melibatkan dua Djawatan, objek wisata ini disebut De Djawatan dan dibuka pada Juni 2018.
Ada sekitar 805 pohon berusia 100-150 tahun. Pohon memiliki lingkar atau keliling 400-500 cm. Bila demikian diamater pohon 1,5 sampai 2 meter. Lokasi wisata ini luasnya 9 hektar.
Para pengunjung juga sudah menerapkan prokes. Mereka bermasker. Meski ada satu dua, mereka ada yang tidak bermasker. Kami pun berfoto dengan latar belakang rumah pohon meski di situ ada kesibukan shooting. Kami juga tidak masuk terlalu jauh ke hutan hanya di dekat pintu masuk. Tujuan kami foto dan cabut.
Saya lihat juga poster-poster kampanye awas Covid dan himbauan ber-prokes terpampang di resto rumah kayu tak jauh dari pintu masuk. Resto rumah kayu itu terlihat sangat asri. Mengundang selera untuk mencicipi menunya.
Kami pun mampir pesan nasi goreng dan mie goreng. Minumannya squash dan teh hangat. Harga lumayan. Kami habis 130 ribu. Taste enak juga. Recommended untuk makan sambil melihat suasana sekelilingnya.
Sekitar pukul 16.00, kami harus segera mengakhiri piknik di lokasi ini. Kami harus segera balik ke Kota Jember. Di Jember sendiri kami sudah booking hotel secara online sehari sebelumnya dan jadwal check in pukul 14.00.
Kami pun meluncur ke Kota Jember melintasi rute Hutan Gumitir. Arus lalu lintas padat dan tersendat ketika keluar Gumitir. Ini membuat perjalanan cukup lama. Tapi kami sabar saja meski mobil melaju lamban. Sekitar pukul 18.30, akhirnya kami baru tiba di Hotel 88 di Jalan Diponegoro, Kaliwates,Jember. Kami pun istirahat- dan besok siang rencananya balik ke Sidoarjo.
Senin sebelum balik ke Sidoarjo, kami mampir dulu di Outlet Cafe Sekar, Kopkar Sekar-Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jalan PB Sudirman. Ini kantor Pusat Penelitian Kopi dan Cokelat Indonesia atau Indonesia Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI), cek www.iccri.net.
Sedangkan, pusat penelitian dan lahannya di Desa Nogosari, Rambipuji atau Jenggawah karena biasanya melintasi Jenggawah. Jaraknya dari Kota Jember sekitar 20 kilometer.
Saya sendiri pernah berkunjung ke situ. Menariknya, ICCRI berdiri sejak 1 januari 1911. Warisan Belanda. Nama aslinya Besoekisch Proefstation. Tempat ini sangat recommended untuk mengetahui mulai proses penanaman kakao mulai biji, berbuah sampai diolah menjadi cokelat batangan dan dijual di toko koperasi karyawan. Tidak perlu ke Swiss untuk membeli cokelat asli. Cukup ke Jember saja. Tiket masuk lokasi Rp 5.000 dan bila keliing kebun dengan sepur kelincinya tarifnya 10.000.
Demikian pula pengolahan kopi. Dari referensi ICCRI, tahukah Anda kopi mulai masuk ke Indonesia pada 1646 dibawa oleh Belanda. Tanaman kopi sendiri kali pertama ditemukan di benua Afrika, Ethiopia. Kemudian tanaman itu menyebar ke beberapa negara dan masuk ke Indonesia.
Pada 1712, sebanyak 894 ton kopi Indonesia dikapalkan ke Belanda. Pada 1840, Indonesia sudah memproduksi 62.000 ton atau 1 juta karung kopi. Dan, pada 1900, diperkenalkan varian kopi Robusta Indonesia.
Sedangkan, cokelat berasal dari budaya kosmopolitan Aztec. Kemudian masuk ke Eropa dan dijadikan minuman oleh orang-orang Spanyol dan negara-negara monarki Eropah. Pada akhir abab 18, cokelat baru masuk Indonesia.
Di lahan penelitian ICCRI itu, pengunjung bisa mengetahui mulai penanaman biji kopi sampai produk jadi. Di sini juga ada penginapan untuk para pengunjung.
Senin itu, kami hanya ingin menikmati secangkir kopi robustanya. Anak-anak membeli beberapa cokelat batangan. Sekitar pukul 13.30, kami balik ke Sidoarjo lewat jalur Lumajang. Pukul 17.30, kami sudah tiba di rumah Sidoarjo. (*)
*Penulis adalah Wartawan Madya, PWI-Dewan Pers